Mohon tunggu...
Orok Menes
Orok Menes Mohon Tunggu... -

Orok Menes adalah praktisi dan pemerhati pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Sampai Sekolah menjadi Pusat "BIMBEL"

5 Desember 2009   13:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari Sabtu, tanggal 28 Februari kemarin, saya berkesempatan kembali berbicara tentang penerapan teknologi pendidikan dalam pembelajaran di kelas dalam acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Khoziny bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Banten. Dalam kesempatan itu saya kembali menegaskan pentingnya pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Langkah apa yang pertama harus dilakukan menuju student-centered learning? Mulailah meninggalkan kebiasaan memposisikan diri sebagai "pemain utama" dalam sinetron pembelajaran di kelas. Tapi, sebaliknya jadikan siswa sebagai "pemeran utama", guru adalah "sutradara"nya. Stop menghabiskan sebagian besar waktu mengajar untuk menyampaikan materi, tapi berikan peluang kepada siswa untuk mengalami persitiwa belajar (tidak hanya menjadi "penonton" alias pendengar dan pencatat materi yang disampaikan). Begitu, kira-kira inti pesan dari materi seminar yang saya sampaikan.

Nah, ini yang menarik. Diluar forum ada seorang guru yang datang mendekat kepada saya. Ia pada prinsipnya setuju dengan konsep pembelajaran seperti apa yang saya sampaikan. Cuman, dia berpesan begini, "Bagaimana itu bisa dilaksanakan, orang guru dituntut untuk mengejar daya serap dan agar semua siswa dapat lulus UN? Bahkan, ada issu yang menyebutkan UN akan dijadikan sebagai dasar masuk perguruan tinggi. Model pembelajaran yang seperti Anda sampaikan gimana mengimplementasikannya? Tolong, Anda sebagai orang Diknas kaji lagi itu berbagai kebijakan yang disatu sisi menuntut perubahan pembelajaran ke arah pembelajaran modern, namun disisi lain ada kebijakan lain yang menuntut sebaliknya, kontra produktif. Saya khawatir, sekolah akan kehilangan "ruhnya" sebagai lembaga pembangun karakter atau pribadi yang utuh, karena terfokus pada kemampuan menyelesaikan soal. Jangan-jangan, sekolah akan menjadi Pusat Bimbingan Belajar atau Pusat Drill and Practice. "

Pesan ini yang membuat saya terhenyak. Saya gak bisa bilang apa apa atas pernyataan seorang guru senior tersebut. Sambil menepuk bahu, ia mengucapkan terima kasih dan acungan jempol terhadap materi yang saya sampaikan. Dia pamit, tanpa saya sempat bertanya nama dan dari sekolah mana.

Kiranya, ini adalah "tamparan" keras buat saya khususnya sebagai staf yang bekerja di lingkungan Depdiknas, dan bagi semua pembuat kebijakan pendidikan, tentunya.

Memang, ide ujian nasional yang datang dari Pusat adalah ide yang bagus tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, dalam prakteknya di lapangan, membuat tenatag pendidik terutama guru, secara sadar atau tidak sadar menjadi lupa "spirit" sekolah sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya membangun kemampuan kognitif, tapi lebih jauh membangun insan sebagai pribadi yang utuh. Seandainya Bapak Pendidikan Nasional kita (Ki Hajar Dewantara) tahu, maka ia akan menangis. Mungkin sekarangpun ia menangis di alam sana. Kita tahu, bahwa ia membagi lembaga pendidikan kedalam tiga klasifikasi. Pertam adalah rumah sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Yang kedua adalah sekolah dan yang ketiga adalah masyarakat. Nah, coba Anda bayangkan mau akan seperti apa generasi penerus ke depan kalo:


  • Ketika di rumah, mereka tidak mendapatkan keteladanan yang baik dari anggota keluarga karena mungkin ornag tuanya sibuk bekerja atau karena kurangnya pengetahuan akan cara mendidik yang baik;
  • Ketika di sekolah, terjadi "pembodohan" karena mereka hanya menjadi penerima informasi dengan segala tekanan dan aturan serta metode yang membosankan. Untuk lulus ujian nasionalpun harus dibantu "oknum guru" sebagai tim sukses UN yang mencoba memberitahu kunci jawaban. Untuk lulus UN, juga sekolah terpaksa menjadi Pusat Latihan Mengerjakan Soal atau Pusat "Bimbel".
  • Sampai di masyarakat, mereka mendapatkan model kinerja bangsa ini yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Berita keterpurukan, kejahatan, kemewahan, sinetron yang gak rasional dan lain-lain menjadi tontonan dan sekaligus model bagi generasi kita.


Wowwww! Pantas kalo Ki Hajar Dewantara pun MENANGIS di alam sana ... Saya berharap, para pengambil kebijakan mulai memikirkan suatu kebijakan yang berpijak pada filosofi yang benar. Bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan, bahwa manusia tidak hanya memiliki unsur kognitif saja (surface competency), tapi termasuk core competency yang meliputi kemampuan sosial, emosi, dan sipritual, bahwa pembelajaran harus lebih bersifat konstruktifistik dan berpusat pada siswa, dan lain-lain. Sehingga kebijakan yang diambil lebih komprehensif (sistemik) tidak parsial an bahkan kontraproduktif seperti saat ini.

Bagaimana menurut Anda?

Tulisan ini juga sya publish dalam blog pribadi: http://fakultasluarkampus.net

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun