Penyesalan sering dianggap sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Dalam momen-momen reflektif, kita merasakan keinginan untuk mengubah sesuatu yang telah terjadi di masa lalu, sesuatu yang kita yakini sebagai "kesalahan." Namun, dari perspektif filsafat yang lebih mendalam, apakah penyesalan itu benar-benar ada, ataukah ia hanyalah konstruksi pikiran yang muncul dari cara kita memandang waktu, sebab-akibat, dan tanggung jawab?
Jika kita menggali lebih dalam, kita dapat sampai pada kesimpulan yang mengejutkan: sebuah penyesalan sebenarnya tidak pernah ada.
Penyesalan dan Ilusi Waktu
Penyesalan, pada dasarnya, terkait erat dengan cara kita memahami waktu. Filosof seperti Henri Bergson menekankan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang linier atau mekanis sebagaimana digambarkan oleh jam dan kalender. Waktu adalah durasi subjektif yang dirasakan oleh kesadaran.
Ketika kita menyesali sesuatu, kita sebenarnya mencoba untuk "melawan" masa lalu, yang pada kenyataannya sudah tidak lagi ada. Masa lalu hanyalah rekonstruksi mental yang kita ciptakan berdasarkan ingatan. Dengan demikian, penyesalan menjadi sesuatu yang ilusi, karena kita merasa bahwa kita bisa memengaruhi sesuatu yang sejatinya sudah selesai dan tidak dapat diubah.
Kesempurnaan dari Setiap Keputusan
Dalam filsafat determinisme, seperti yang dijelaskan oleh Spinoza, segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah hasil dari serangkaian sebab-akibat yang tak terhindarkan. Setiap keputusan yang kita buat, betapapun tampaknya "salah" dalam retrospeksi, adalah hasil dari kondisi-kondisi yang ada pada saat itu.
Jika kita menganggap bahwa setiap tindakan adalah konsekuensi dari keadaan mental, emosional, dan lingkungan pada saat tersebut, maka tidak ada ruang bagi penyesalan. Kita melakukan apa yang kita lakukan karena kita tidak bisa melakukan yang lain pada waktu itu. Dalam pengertian ini, setiap keputusan, setiap tindakan, dan bahkan setiap "kesalahan" adalah bagian dari kesempurnaan realitas yang terus bergerak maju.
Pandangan Nihilisme: Penyesalan sebagai Ketiadaan Makna
Filosof seperti Friedrich Nietzsche mungkin akan menyatakan bahwa penyesalan adalah tanda kelemahan karena manusia tidak mampu menerima kehidupan sebagaimana adanya. Dalam konsep amor fati---mencintai takdir---Nietzsche menantang kita untuk menerima segala sesuatu yang terjadi tanpa keinginan untuk mengubahnya.
Penyesalan, dalam pandangan ini, hanyalah cerminan dari ketidakmampuan kita untuk memahami bahwa segala hal tidak memiliki makna intrinsik selain dari yang kita berikan. Dengan demikian, penyesalan sebenarnya adalah ilusi, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ada kecuali sebagai konstruksi pikiran kita sendiri.