Mohon tunggu...
Oriza Yogiswara
Oriza Yogiswara Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

hobi saya mengetik ....... tapi boong

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cahaya yang Redup

11 Oktober 2024   18:39 Diperbarui: 11 Oktober 2024   21:03 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perenungan Filosofis tentang Keremangan Eksistensi : Cahaya yang Redup

Dalam spektrum pencahayaan kehidupan, cahaya yang redup menempati posisi unik---bukan kegelapan pekat, juga bukan kecerahan menyilaukan. Keadaan remang ini menawarkan metafora mendalam tentang kondisi manusia dan realitas yang kita huni.

Ambiguitas Persepsi

Cahaya redup menciptakan bayangan samar, mengaburkan batas-batas yang dalam keadaan terang tampak jelas. Ini mengingatkan kita pada keterbatasan persepsi manusia dan sifat ambigu dari banyak kebenaran filosofis. Seperti Plato menyarankan dalam alegori gua, kita mungkin hanya melihat bayangan realitas, bukan esensinya yang sejati.

Ruang untuk Kontemplasi
Keremangan mendorong kita untuk memperlambat, mempertajam indra, dan merenungkan. Dalam cahaya redup, kita diundang untuk melihat melampaui permukaan dan menyelami kedalaman. Ini meresonansikan dengan ajakan Sren Kierkegaard untuk introspeksi mendalam dan pencarian makna personal.


Dialektika Terang dan Gelap
Cahaya redup mewujudkan sintesis antara terang dan gelap, mengingatkan kita pada konsep dialektika Hegel. Ia menunjukkan bahwa kebenaran sering terletak pada perpaduan atau rekonsiliasi dari ide-ide yang tampaknya bertentangan.

Ketidakpastian dan Potensi
Dalam remang-remang, banyak hal mungkin terjadi. Keadaan ini mencerminkan ketidakpastian eksistensial yang dibahas oleh para filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre. Namun, ketidakpastian ini juga membawa potensi---ruang di mana kemungkinan-kemungkinan baru dapat muncul.

Keindahan dalam Ketidaksempurnaan
Cahaya redup sering dianggap lebih menarik secara estetis dibandingkan pencahayaan terang yang sempurna. Ini mengingatkan kita pada konsep Jepang wabi-sabi, yang menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan dan kesementaraan.


Kesimpulan
Cahaya yang redup, dengan segala nuansa dan implikasinya, menawarkan lensa yang kaya untuk merefleksikan kondisi manusia. Ia menantang kita untuk merangkul ambiguitas, menghargai nuansa, dan mencari makna dalam bayang-bayang eksistensi kita. Mungkin, dalam menerima dan merenungkan "keremangan" hidup ini, kita dapat menemukan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita dan dunia di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun