Malam beranjak larut dan kantor beranjak sepi. Saya pun bergegas meninggalkan meja dan keluar dari kantor, berjalan tergesa menuju halte bus Transjakarta. Berharap bisa segera mendapat tumpangan hingga Stasiun Cawang sebelum berpindah ke moda transportasi publik lainnya.
Apa daya, di loket karcis bus Transjakarta, saya justru disambut oleh seorang petugas wanita yang lebih asyik bertelepon ria dibanding melayani pembelian karcis. Lampu neon tampak berkelap kelip menunggu ajal di dalam halte, menampakkan suasana halte yang kusam. Berdiri menunggu disamping pintu elektronik yang tidak bekerja, baru sekitar 15 menit kemudian muncul sebuah bus Transjakarta dalam kondisi penuh sesak .
Kilas balik ke awal tahun 2004, saya gembira ketika layanan bus Transjakarta mulai diluncurkan. Koridor I yang melayani rute Blok M-Kota tampak sangat menjanjikan. Jumlah bus yang banyak, nyaman ber-AC, halte yang terkesan modern dilengkapi dengan tiket elektronik dan pintu halte otomatis, membangkitkan harapan saya bahwa era Jakarta akan memiliki transportasi umum yang modern baru saja dimulai.
Namun jauh panggang dari api, bukannya perbaikan kualitas yang didapat. Semakin hari sepertinya layanan bus Transjakarta semakin buruk. Terakhir saya menaiki bus Transjakarta di koridor I, tiket elektronik sudah berganti menjadi tiket kertas yang disobek, pintu masuk elektronik sudah rusak, begitupula pintu geser otomatis sudah terbuka lebar tidak berfungsi. Padahal koridor I adalah koridor yang boleh dibilang paling bagus, katrena jalurnya yang paling steril dan jumlah busnya paling banyak serta melintasi jalan protokol paling bergengsi di Jakarta.
Koridor-koridor lainnya tidak lebih baik, saat melintasi halte Tegal Parang di koridor IX, saya melihat banyak kertas ditempelkan di dinding halte dengan tulisan tangan yang berbunyi "Ini bukan halte transit". Begitu susahkah untuk mencetak kertas pengumuman tersebut menggunakan printer agak tampak lebih rapi ?
Kasus pelecehan yang beberapa kali terjadi justru membuat BLU Transjakarta menerapkan kebijakan yang tidak jelas. Penumpang wanita diminta untuk bergeser ke bagian depan bus, dan penumpang pria bergeser ke belakang, yang tidak akan pernah terlaksana di saat jam sibuk dimana kondisi penumpang penuh sesak, jangankan untuk bergeser, untuk sekedar bergoyang melemaskan kaki pun tidak bisa. Kasus pelecehan akan sukar terjadi jika jumlah bus memadai sehingga penumpang tidak perlu berdesak-desakan di dalam bus.
Entah mengapa, sudah 7 tahun bus Transjakarta beroperasi, pihak pengelola masih tidak bisa melakukan perbaikan. Jumlah bus yang masih sangat kurang seakan diabaikan, justru lebih sibuk membangun koridor-koridor baru. Jauh lebih efektif memiliki jumlah koridor yang tidak terlalu banyak, tetapi kualitas pelayanan maksimal, daripada jumlah koridor paling banyak di dunia, tapi kualitas pelayanan sangat minim.
Kita bandingkan dengan layanan Trans Millenio di Bogota, Kolombia yang menjadi rujukan Gubernur DKI Sutiyoso saat akan memulai proyek bus Transjakarta. Panjang jalur bus Transjakarta hampir 2x lipat panjang jalur bus TransMillenio, namun layanan bus Transjakarta hanya dilayani oleh sekitar 600 bus (campuran antara bus tunggal dan bus gandeng), berbanding terbalik dengan TransMillenio yang memiliki hampir 1100 bus, dan semuanya terdiri dari bus gandeng !!
Namun yang paling ironis bagi saya adalah, saat memasuki halte bus Transjakarta, sering di loket tiket tertempel selembar kertas bertuliskan tangan yang berbunyi "Maaf, bus datang terlambat karena macet". Mungkin para petinggi Pemda DKI dan BLU Transjakarta musti sadar, awal mulanya dibangun layanan bus Transjakarta adalah sebagai solusi mengatasi kemacetan, tapi jika solusi tersebut justru terhalang oleh kemacetan...ya sudah BUANG SAJA BUS TRANSJAKARTA.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H