Kasus kekerasan seksual di Indonesia menunjukkan angka yang cukup memprihatinkan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat bahwa pada tahun 2020 kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi yaitu sebanyak 7.191 kasus. Data Komnas Perempuan (2015-2020) juga menunjukkan dari keseluruhan pengaduan terhadap kasus kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi. Selain itu, mengutip pula Survei Kemendikbud pada tahun 2020 menyebutkan bahwa 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkannya kepada pihak kampus. Tentu kita tidak boleh melihat data tersebut sebatas "angka". Jangan lupa banyak korban yang menderita secara fisik dan psikis. Banyak korban yang berjuang menuntuk hak atas pemulihannya. Banyak pula korban yang saat ini masih berjuang untuk memenuhi beban pembuktian atas kasus yang menimpanya. Bahkan ada pula yang harus memikul stigma negatif di masyarakat. Masih maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia seharusnya membuka diskursus tentang bagaimana solusi terbaik atas permasalahan tersebut, bagaimana kemudian instrumen hukum yang ada dapat menjadi tameng atau perisai bagi korban-korban kekerasan seksual.
Secara umum, tulisan ini akan membahas Permendikbud ristek No.30 Tahun 2021. Khususnya  penulis akan mengkaji frasa "tanpa persetujuan korban" dalam Permendikbud ristek tersebut yang kemudian menghadirkan kubu pro dan kontra. Frasa ini setidaknya muncul sebanyak 6 kali, yaitu dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m. Pasal tersebut mengatur tentang tindakan apa yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual, diantaranya : (1) memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban;(2) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (3) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (4) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (5) menyentuh, mengusap, meraba memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban, dan (6) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban. Frasa persetujuan korban dalam rumusan pasal tersebut dianggap memberikan celah terhadap legalisasi zina di lingkungan kampus apabila ditafsirkan secara a contrario (penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian). Ada pula yang berpandangan bahwa frasa tersebut tidak terlalu penting dicantumkan, karena setiap yang menjadi korban pastilah tidak menyetujui tindakan tersebut. Lalu bagaimana seharusnya kita memaknai frasa "tanpa persetujuan korban?".
Sebelum melangkah lebih jauh, penulis ingin memaparkan secara singkat tentang baju hukum yang digunakan yaitu Peraturan Menteri. Peraturan Menteri adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 8 ayat (1) UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya, sebuah peraturan menteri seharusnya tunduk pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu asas yang dimaksud yaitu asas kejelasan tujuan. Dalam pasal 2 Permendikbud ristek tersebut jelas dinyatakan bahwa permen tersebut bertujuan untuk menjadi pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang bebas dari kekerasan. Saya tentu dapat memahami niat baik ini sebagai suatu solusi mengatasi kekerasan seksual khususnya di lingkungan kampus. Selain asas kejelasan tujuan, ada pula asas kejelasan rumusan yang harus diakomodir dalam peraturan ini. Asas kejelasan rumusan berkaitan dengan sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti serta tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi. Asas inilah yang masih kurang diakomodir dalam perumusannya, sehingga hadirnya peraturan tersebut kemudian menghadirkan berbagai macam interpretasi. Saya tak ingin menghakimi setiap interpretasi yang muncul, namun saya akan mencoba melihat seberapa pentingkah frasa persetujuan korban dicantumkan di sana?.
Manusia adalah makhluk hidup yang dikelilingi oleh norma-norma. Â Yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi tingkah lakunya dalam masyarakat. Kansil dalam bukunya Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia menyebutkan bahwa norma-norma tersebut dapat dimaknai pula sebagai bentuk penghargaan dan perlindungan terhadap diri dan kepentingannya, serta bertujuan agar ketentraman dalam masyarakat dapat terjamin. Diantara norma-norma yang harus menjadi pedoman bagi masyarakat adalah norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum. Guna norma-norma itu ialah untuk memberi petunjuk tentang perbuatan mana yang harus dijalankan dan dihindari. Permendikbud ristek No.30 Tahun 2021 jelas merupakan norma hukum yang memberi petunjuk tentang perbuatan yang harus dihindari. Penafsiran terhadap frasa "atas persetujuan korban" tidak serta merta dapat dimaknai melalui argumentum a contrario bahwa peraturan ini melegalisasi zina. Karena pada faktanya, masyarakat juga terikat dengan norma-norma lain seperti norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Norma hukum bukanlah norma tunggal yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini pula lah yang kemudian memunculkan pertanyaan, "apakah setiap dosa perlu dikenai sanksi hukum?. Contohnya salah satu dosa besar yang diyakini dalam agama Islam yaitu durhaka terhadap orang tua. Apakah perilaku tersebut diakomodir oleh norma hukum?, tentu tidak. Namun apakah itu dapat diartikan hukum melegalisasi setiap perbuatan durhaka terhadap orangtua?. Jawabannya tentu tidak. Dalam konteks ini, sesuatu yang tidak dilarang belum tentu diperbolehkan. Â Prof.Solly Lubis menyatakan bahwa setiap insan manusia pastilah berpikir dan bertindak berdasarkan paradigma yang mereka yakini. Pribadi yang beragama, seharusnya sudah mengetahui nilai-nilai apa saja yang berlaku baginya.
Bukankah tidak ada yang salah apabila frasa "tanpa persetujuan korban" dihilangkan?.
Dalam perspektif hukum, konsep persetujuan atau izin adalah salah satu prinsip penting yang menjadi penilaian dasar apakah sebuah peristiwa dapat dikenai sanksi atau tidak. Hal tersebut secara khusus lebih dikenal dalam hukum pidana. Meskipun Permendikbud ristek ini merupakan instrumen hukum administratif karena tidak memuat sanksi pidana, namun pendekatan demikian dapat digunakan pula dalam permasalahan ini. Frasa "tanpa persetujuan" sejalan dengan frasa-frasa yang lazim digunakan dalam instrumen hukum seperti "tanpa izin", "dengan pemaksaan", atau sesuatu yang "tidak dikehendaki". Contohnya dalam pasal 285 KUHP, unsur "paksaan" menjadi penting dibuktikan sehingga disebut sebagai "pemerkosaan". Pada dasarnya, elemen persetujuan sangat diperlukan dalam proses pembuktian dan merupakan elemen kunci dalam penanganan kekerasan seksual. Bukankah tidak ada yang salah apabila frasa "tanpa persetujuan korban" tetap dipertahankan?.
Â
Kekerasan seksual adalah serangan terhadap manusia. Bukankah apabila dianalogikan dengan serangan lainnya seperti peristiwa pembunuhan, penganiayaan juga tidak memerlukan "persetujuan"?
Sekilas-sekelebat pemikiran, mungkin argumentasi tersebut cukup logis dan dapat diterima akal sehat. Namun apabila kita melihat fakta yang ada, banyak sekali kasus kekerasan seksual yang sulit diproses sampai ke pengadilan. Perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual bisa melemah apabila tidak cukup bukti. Mengutip pendapat Fathurozi dalam Forum Pengada Layanan,hanya 15-20% kasus kekerasan seksual sampai divonis di pengadilan dan itu mayoritas adalah korban anak. Kasus kekerasan seksual yang korbannya orang dewasa sangat sulit diproses sampai ke pengadilan. Karena korban masih dibebankan dengan pembuktian serta tidak adanya perlindungan dari aparat penegak hukum terhadap ancaman yang diterima korban. Persoalan klasik terkait pembuktian ini memiliki kompleksitas tersendiri yang tidak mudah. Belum lagi stigma negatif yang dilontarkan oleh penegak hukum dalam merespons kasus kekerasan seksual. Mulai dari pertanyaan seperti "kenapa tidak menolak?", "kenapa tidak melawan?", lebih parahnya pertanyaan seperti "apakah kamu menikmatinya juga?". Tentu kompleksitas permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya sebatas ungkapan, "kalau begitu yang salah adalah penegak hukumnya, merekalah yang harus diperbaiki". Tentu meluruskan stigma negatif dalam proses pemeriksaan penting untuk diperjuangkan. Namun yang tidak kalah penting adalah menghadirkan instrumen hukum yang berfokus pada korban. Konsep perlindungan korban kekerasan seksual sejatinya harus diubah dari pasif menjadi aktif. Terkhusus dalam lingkup perguruan tinggi yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan.
Â