kota kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang pria muda bernama Ardi. Setiap harinya, ia melewati jalan yang sama, melihat toko-toko yang tak asing, dan menyapa orang-orang yang ia kenal. Namun, hatinya selalu merasakan kekosongan.Dia pun merasam  ada sesuatu yang hilang, dan ia merasa itu adalah rumahnya.Ardi lahir dan dibesarkan di kota ini, tetapi sudah bertahun-tahun ia merasa asing. Sejak merantau untuk kuliah ke kota besar, Ardi jarang kembali. Alasan utamanya adalah kesibukan. Ia sering kali berpikir bahwa pulang ke rumah tak begitu penting. Namun pada suatu malam yang dingin, ada perubahan dalam dirinya. Ia merasa lelah. Lelah dengan hiruk-pikuk kehidupan di kota besar, dengan dunia yang terasa bergerak terlalu cepat."Saatnya kembali," bisik Ardi pada dirinya sendiri sambil mengangkat kopernya yang sudah lama tak terpakai.Ia memandangi langit kota yang tak pernah sepi oleh lampu-lampu jalan, tetapi hatinya justru merasa hampa. Tanpa menunggu lama, Ardi memutuskan untuk membeli tiket kereta pulang. Beberapa jam kemudian, ia sudah berada di dalam gerbong yang membawanya kembali ke kota asalnya.Kereta itu melaju perlahan, melintasi malam yang dingin. Ardi memandang pemandangan yang sudah dikenalinya. Pepohonan di sepanjang jalur kereta, rumah-rumah kecil yang tertata rapi, dan gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. Semua itu adalah kenangan masa kecil yang perlahan muncul kembali. Ardi merasa seolah ia kembali pada masa lalu, pada waktu ketika ia tidak terbebani oleh harapan dan mimpi-mimpi yang belum terwujud.Setelah kereta berhenti di stasiun kecil yang sudah lama tidak ia kunjungi, Ardi mengamati sekelilingnya. Beberapa orang yang dikenalnya dari dulu masih tampak sama. Namun, ada beberapa hal yang telah berubah. Kota ini seolah lebih tenang, lebih damai. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah menuju rumah orang tuanya.Langkahnya terasa ringan. Meskipun jalan yang ia lalui tidak seindah dulu, namun ada satu perasaan yang aneh. Seolah jalanan itu memanggilnya untuk pulang, untuk menemukan jati dirinya yang hilang.Di depan pintu rumah yang sederhana, Ardi terdiam sejenak. Tangan yang dulunya tidak asing untuk menekan bel, kini terasa kaku. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita paruh baya muncul."Ibu..." suara Ardi serak.Wanita itu tersenyum, meski senyumnya terlihat sedikit cemas. "Ardi? Kenapa baru pulang? Kami sudah menunggumu."Ardi hanya mampu tersenyum lemah, merasa semua pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ia melangkah ke dalam rumah, merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ibu menyajikan teh hangat dan makanan ringan, sementara Ardi hanya duduk diam. Ia mengamati sekeliling rumah. Meskipun sederhana, tetapi ada kedamaian di sini yang sulit ia temukan di tempat lain.Malam itu, setelah ibu dan ayahnya terlelap, Ardi duduk di beranda rumah, memandangi langit yang penuh bintang. Suara jangkrik dan angin malam mengisi keheningan. Ardi merasakan sebuah perasaan yang sudah lama ia lupakan. Sesuatu yang selalu ada, namun ia abaikan.Rumah bukan hanya sekadar tempat tinggal. Rumah adalah tempat di mana kita merasa diterima tanpa syarat. Tempat di mana waktu seolah berhenti, dan kita dapat merasakan bahwa segalanya akan baik-baik saja, meskipun dunia di luar sana terus berubah.Ardi menutup matanya, menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa benar-benar pulang.
Di sebuahBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!