Mohon tunggu...
Remigius Septian
Remigius Septian Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Journalist, Writer, Thinker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal John R. Alison

9 Desember 2014   22:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alison di masa senjanya

Kenikmatan menjadi seorang penerbang tempur membawa nama Johnny Alison ke dalam jajaran legenda penerbangan AS. John Richardson Alison, nama kecil Johnny Alison lahir tahun 1912 di Florida, Amerika Serikat. Orang tua Alison sangat peduli dengan pendidikan ketiga anaknya. Tak ayal saat beranjak remaja Alison pindah dari daerah pedalaman Micanopy ke Gainesville, Florida. Di sinilah jiwa kepemimpinan dan keberanian Alison mulai terlihat. Ia mendapat kehormatan menjadi ketua kelas, dan bahkan ketua geng. Suatu hari saat sedang duduk-duduk di teras sekolah ia mendengar raungan mesin pesawat Curtiss P-1 yang memecah keheningan. Pesawat tersebut diterbangkan oleh Ralph Ruddy, pemuda lokal yang menjadi penerbang. Seketika saja Alison berpikir ingin menjadi seorang penerbang tempur. Kelak Alison benar-benar menjadi penerbang, bahkan melebihi apa yang ia pikirkan. Impian tersebut ia bawa sampai ke Universitas Florida dimana ia belajar teknik industri. Setelah menyelesaikan tahun kedua di universitas, Alison meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk keluar dari pendidikan yang tengah ia jalani. Sudah bisa dipastikan kedua orang tuanya menolak. Mereka mempersilakan Alison untuk belajar terbang dengan seorang instruktur lokal tanpa meninggalkan bangku kuliah. Kedua orang tua Alison sebenarnya kurang setuju dengan cita-cita anaknya karena resiko menjadi penerbang tempur yang amat besar. Ayahnya kemudian meminta Alison melupakan cita-citanya dan mencari pekerjaan lain setelah lulus kuliah. Namun Alison terlanjur memantapkan hati untuk mengejar impian menjadi seorang pilot pesawat tempur. Sampai-sampai ia menolak tawaran menjadi Surveyor di sebuah instansi pemerintahan yang menjanjikan gaji jauh lebih tinggi dibanding gaji seorang penerbang. Ditolak mentah-mentah Semangatnya tinggi, begitu pula kepercayaan dirinya. Ia sangat yakin akan diterima sebagai penerbang Angkatan Laut. Namun ternyata semua di luar dugaan. Alison menyelesaikan seluruh tes dengan baik kecuali tes kesehatan. Ia dinyatakan tidak lulus karena tingginya kurang 0,25 inchi. Bahkan sampai Duncan Fletcher, seorang senator Florida memberikan jaminan atas namanya, pihak Angkatan Laut tetap tidak bergeming. Gagal menjadi penerbang Angkatan Laut tak mematahkan asa Alison. Tahun 1936 ia pergi ke Montgomery, Alabama untuk mencoba peruntungan menjadi penerbang Angkatan Udara karena kabarnya standar tinggi badan di sana tidak setinggi Angkatan Laut. Dan benar saja, Alison lolos dan memulai pendidikannya menjadi penerbang. Pendidikan dasar ia jalani di Randolph Field, negara bagian Texas. Alison termasuk beruntung karena kebetulan pada saat itu Angkatan Udara sedang melakukan transisi dari pesawat kabin terbuka ke pesawat kabin tertutup. PT-3s, Douglas BT-2, dan Seversky BT-8 pernah ia tunggangi saat belajar. Selepas pendidikan dasar Alison dan kawan seangkatannya melanjutkan ke pendidikan penerbang tingkat atas di Kelly Field, Texas. Di sini Alison menggunakan pesawat pembom kabin terbuka Keystone, Curtiss Shrike, dan Boeing P-12. Siswa terbaik Alison dianggap memiliki kemampuan di lebih tinggi dibanding siswa di angkatannya sehingga instrukturnya mempercayakan Alison untuk terbang solo lebih awal. Kesempatan ini tidak ia sia-siakan begitu saja. Alison bukan hanya meningkatkan kemampuan manuvernya, namun ia juga mulai belajar aerobatik udara. Sampai ia lulus di tahun 1937 Alison berhasil mengumpulkan 300 jam terbang, melampaui seluruh siswa seangkatannya. Lulus dengan pangkat Letnan dua Alison langsung ditempatkan di 1st Pursuit Group di pangkalan udara Langley, Virginia yang terkenal sebagai salah satu pusat inovasi penerbangan militer Amerika Serikat. Di sana ia bergabung dengan para prajurit yang kelak juga menjadi tokoh penerbangan Amerika Serikat, seperti Letnan Satu Curtis LeMAy, Mayor Carl Spaatz, dan Letkol Robert Olds. Di tempat ini pula Alison mulai menerbangkan Boeing YB-17s, pesawat tempur modern pertama. Tahun 1940 Alison dipindahkan ke pangkalan udara Mitchel, Long Island. Dengan pesawat P-40 ia semakin mengukuhkan diri sebagai penerbang tempur yang handal. Presiden pun mengundangnya untuk tampil di atas langit Washington menyambut kunjungan delegasi Cina yang akan mendapatkan bantuan pasukan dan persenjataan dari kelompok American Volunteer Group (AVG) untuk melawan Jepang. Terbang langsung dari pangkalan udara Mitchel, ia memukau delegasi Cina dengan liukan-liukan di udara. Selepas mendarat salah satu petinggi militer Cina sambil menunjuk P-40 berkata, “Saya membutuhkan 100 pesawat ini,” ujarnya kepada Claire Chennault, pendiri AVG yang saat itu juga bertindak sebagai penasehat militer Cina. Namun Chennault langsung menarik Alison dan berkata, “yang Anda butuhkan adalah 100 penerbang seperti dia,” ujarnya kepada pejabat Cina tersebut. Berjaya di Asia-Eropa Alison pun segera dikirim ke Cina untuk mensuport Angkatan Udara di sana. Namun pengabdian Alison di Cina ternyata tidak berumur panjang. Di pertengahan tahun 1940 Perdana Menteri Inggris Winston Churchill berkeinginan memborong sebanyak mungkin pesawat dari Amerika Serikat untuk meremajakan pesawat-pesawat Angkatan Udara Inggris (RAF). Peremajaan armada udara ini dilakukan pemerintah Inggris untuk menghadapi Battle of Britain. Battle of Britain sendiri merupakan pertempuran antara Inggris dengan Jerman untuk mempertahankan wilayah udara Inggris. Pengadaan pesawat tempur RAF ini dilakukan lewat perjanjian Lend-Lease. Program Lend-Lease merupakan sebuah program promosi pertahanan pemerintah Amerika Serikat dimana pemerintah meminjamkan armada tempurnya kepada negara-negara sahabat. Harapannya agar ke depan terbangun kerjasama strategis di bidang pertahanan dengan negara-negara sahabat. Alison dan seorang penerbang lainnya, Hubert “Hub” Zemke pun diutus ke Inggris untuk memberikan pelatihan bagi para calon penerbang dan teknisi pesawat tempur P-40. Selain memberikan pelatihan, Alison pun bergabung dengan penerbang RAF. Namun setelah perang usai ternyata para penerbang RAF menganggap kualitas P-40 tidak ada apa-apanya jika dibanding dua pesawat lain buatan Inggris, Hawker Hurricane dan Spitfire. Sebaliknya, Alison mengaku setelah menerbangkan ketiga pesawat dalam perang tersebut, P-40 adalah yang terbaik, terutama untuk terbang rendah. Perbedaan pendapat ini membuat hubungannya dengan penerbang RAF menegang. Alison semakin tidak disukai terlebih saat ia mengalami kecelakaan terbang dengan P-40 yang ia banggakan. Saat melakukan manuver dengan menanjak tajam tiba-tiba batang kemudinya tidak berfungsi dan membuat pesawat yang ia tunggangi hilang kendali. Alison pun terpaksa loncat dan terjun dengan parasut. Tak lama setelah insiden ini Alison ditarik kembali ke Amerika Serikat. Beberapa bulan kemudian Alison ditugaskan ke Rusia untuk menemani Presiden Roosevelt dan jajarannya untuk meresmikan program Lend-Lease dengan pemerintahan Stalin. Selama di Rusia inilah Alison menemukan penyebab insiden yang ia alami saat bertugas di Inggris. Dibantu oleh mekanik-mekanik lokal yang handal ia mendapati banyak baut yang lepas di dalam badan P-40. Alison pun segera memmbuat laporan ke Curtiss-Wright, produsen P-40 dan setelah itu pengawasan terhadap produksi P-40 semakin ketat. Tahun 1942 Kepala Angkatan Udara Amerika (USAF) Serikat Jenderal Henry “Hap” Arnold memerintahkan Alison untuk melanjutkan tugas ke Cina, untuk bergabung dengan AVG yang telah bertransformasi menjadi 23rd Fighter Group. Sesampainya di provinsi Hengyang ia langsung ditempatkan di 75th Fighter Squadron yang dipimpin oleh Mayor David “Tex” Hill. [caption id="" align="alignnone" width="1120" caption="Alison di masa senjanya"][/caption] Serangan malam Di suatu malam Alison beserta seluruh pasukan dikejutkan dengan suara raungan mesin  pesawat di atas kamp mereka. Sekelompok pesawat pembom Mitsubishi Ki-21 milik Angkatan Udara Jepang mencoba untuk menjatuhkan bom di wilayah Hengyang, namun tidak satupun bom jatuh di kamp Alison. Malam berikutnya Alison bersiap siaga jika terjadi serangan lagi seperti malam berikutnya. Benar saja, samar-samar Alison mendengar suara pesawat yang sama seperti malam berikutnya. Beserta seorang penerbang lainnya, Albert “Ajax” Baumler Alison langsung menerbangkan P-40 dan membuntuti pesawat musuh. “Tuhan, ampunilah aku atas apa yang aku perbuat ini,” doanya dalam hati. Langsung saja ia memberondong tembakan ke arah musuh. Berhasil! Dua Mitsubishi Ki-21 jatuh, Alison pun bangga akhirnya bisa menjatuhkan pesawat lawan. Namun keadaan berubah seketika, pesawat Alison gantian ditembaki oleh sebuah pesawat musuh. Tak mau ambil resiko, Alison langsung melakukan pendaratan darurat di sebuah sungai. P-40 tunggangan Alison pun rusak parah setelah menghujam dasar sungai. Beruntung ada seorang pemuda lokal yang membantu Alison keluar dari kokpit pesawat. Keesokan harinya pesawat diambil untuk kemudian diperbaiki agar dapat digunakan kembali oleh Alison. Setelah P-40 yang dibanggakan selesai diperbaiki Alison langsung menggunakannya kembali. Beberapa kali ia terlibat kontak senjata di atas langit Hengyang dengan pesawat kesayangannya itu. Sampai akhir pengabdiannya di Cina tahun 1943 Alison telah menembak jatuh enam pesawat dan puluhan kali serangan ke darat. Alison kemudian dipercaya menjadi komandan di 75th Fighter Squadron. Sebagai seorang pemimpin Alison sangat menjunjung tinggi disiplin dan kompetensi anak buahnya. Seluruh penerbang baru diberikan banyak kesempatan menerbangkan pesawat untuk menambah jam terbang mereka sebelum melakukan misi. Mendirikan Pasukan Khusus Bersama teman sekamarnya saat masa pendidikan Kolonel Philip Cochran, Alison membentuk satuan pasukan elit yang akan ditugaskan di Burma (sekarang Laos) untuk melakukan operasi militer melawan Jepang. Operasi yang diberi nama “Operasi Kamis” ini dipimpin oleh Cochran, sedangkan Alison menjadi wakilnya. Mereka kemudian menamai pasukan khusus tersebut dengan nama 5318th Provisial Air Unit. Unit ini dilengkapi dengan berbagai pesawat tempur yang tergolong mutakhir pada masa itu, di antaranya 30 P-51 Mustang, 12 B-25 Mitchells yang dilengkapi kanon 75mm, 13 pesawat angkut C-47, 150 glider CG-4A, dan 12 pesawat angkut ringan 12 UC-64 Norseman. Bukan hanya armada tempur dan angkut, Alison juga melengkapi 5318th Provisial Air Unit dengan pesawat ringan L-1, L-5, dan helikopter Sikorsky YR-4 untuk keperluan evakuasi medis. Total armada udara yang dipimpinnya mencapai 348 unit. Operasi pun dimulai. Tanggal 5 Maret 1944 malam Alison dengan glider CG-4A terbang menuju sebuah hutan di medan operasi. Ini merupakan tugas berat karena Alison bertindak sebagai pembuka landasan bagi pesawat-pesawat jenis lainnya. Alison menyebut pendaratan ini sebagai “pendaratan melewati neraka” karena ia harus menerjang pepohonan dan rumput-rumput yang sangat tinggi. Hasilnya tak kurang 40 glider hancur dan 28 personel tewas. Selepas mendarat Alison langsung membersihkan rerumputan agar dapat dilandasi oleh pesawat angkut C-47s yang membawa alat-alat berat. Alat berat tersebut rencananya akan digunakan untuk membuat landasan yang lebih besar lagi. Alhasil, lebih dari 9 ribu personel, 175 kuda, 1283 keledai, dan lebih dari 250 ton logistik berhasil mendarat. Alison pun berhasil memimpin seluruh pasukan memenangi “Operasi Kamis” ini. Karena kesuksesan dalam operasi ini Alison langsung dihadiahi medali Legion of Merit. Medali tersebut diberikan kepada para prajurit yang berhasil menunanikan tugas khusus. Lebih dari itu, 5318th Provisial Air Unit ciptaan Alison ditetapkan 1st Air Commando. Dalam perkembangannya pasukan ini sekarang dikenal sebagai Air Force Special Operation Force. Tak berhenti sampai di situ, Alison ditunjuk oleh Dwight Eisenhower yang saat itu masih menjadi salah satu petinggi militer untuk memimpin pasukan dalam invasi ke Normandia. Alison juga dipercaya sebagai perwira pelaksana di bawah pimpinan Mayor Jenderal Ennis Whitehead dalam operasi pendaratan di Filipina. Banyaknya pertempuran dan operasi militer lainnya sejak awal kelulusan menjadi penerbang membuat nama Alison kian melambung. Tak heran jika ia digajar berbagai penghargaan bergengsi baik dari dalam negeri maupun luar negeri, antara lain Distinguished Service Cross, Distinguished Flying Cross, Silver Star, Purple Heart, Legion of Merit, Air Medal, dan British Distinguished Service Order. Ia mengakhiri pengabdiannya di USAF tahun 1955 dengan pangkat terakhir sebagai Mayor Jenderal. Walau telah melepas segala atribut kemiliterannya namun karir personal Alison tidak lantas berhenti begitu saja. Ia kemudian dikenal sebagai seorang pebisnis handal dan dipercaya oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur Northrop hingga 1984. Di tangannya, Northrop berhasil mengembangkan beberapa armada udara mutakhir, seperti T-38, F-5, F-20, YF-17, dan Tacit Blue Stealth. Hingga umur 95 tahun Alison masih mencurahkan pikirannya untuk kemajuan industri pertahanan, khususnya pertahanan udara. Alison tutup usia pada 6 Juni 2011, hanya kurang satu tahun sebelum usianya genap seabad. Namanya diabadikan di National Aviation Hall of Fame sebagai “ahli militer strategis yang berani dan inovatif.” Lebih dari itu, saat ini ia juga dikenang sebagai bapak operasi khusus Angkatan Udara AS. Ditulis oleh: Remigius Septian H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun