Pasar buku cetak memang dari tahun ke tahun, walau sangat perlahan turun, tapi kebutuhan membangun citra perusahaan, membangun nama sebuah brand masih sangat tinggi. Berbagai cara dilakukan perusahaan agar baik nama perusahaan maupun produknya dikenal luas oleh masyarakat. Ujung-ujungnya tentu soal pendapatan perusahaan. Dengan baiknya nama perusahaan di mata masyarakat perusahaan berharap masyarakat pun percaya dengan barang atau jasa yang ia jual. Apa artinya murah, berkualitas tinggi, tapi tidak dikenal masyarakat?
Agar sebuah nama atau brand dikenal luas oleh publik tentu banyk cara yang bisa dilakukan. Beriklan di media massa, menggelar berbagai event, program sponsorship, hingga program Corporate Social Responsibility. Berapa banyak uang yang dikeluarkan perusahaan untuk memastikan namanya dikenal dan memiliki persepsi yang positif?
Untuk mengenalkan produk baru, program promosi, dan mensosialisasikan berbagai program kerja, iklan masih menjadi pilihan utama bagi perusahaan. Hingga pertengahn 2014 ini belanja iklan lintas media sudah mencapai 26,7 triliun rupiah. Meningkat 15 persen dari periode yang sama di tahun 2013 (Sumber: Nielsen). Padahal, persepsi orang terhadap iklan dan reputasi iklan di media massa cenderung menurun. Ingat kata-kata yang sering didengar masyarakat, “jangan termakan iklan.” Kalimat itu menjadi salah satu pertanda bahwa, walaupun masih efektif, reputasi iklan sendiri menurun.
Beberapa tahun belakangan ini, perusahaan-perusahaan besar mulai mengurangi budget iklannya dan dialihkan untuk anggaran Public Relations. Program kehumasan di perusahaan, walaupun butuh waktu yang lebih panjang dibanding iklan, memiliki keefektifan yang cukup tinggi. Efeknya, nama perusahaan makin baik dari hari ke hari.
Salah satu fenomena yang cukup menggelikan belakangan ini adalah, perusahaan lebih baik memberikan uang ke wartawan, penulis, blogger, atau siapapun yang bisa menjadi corong perusahaan daripada membuang uang untuk beriklan. Tidak percaya?
Orang dalam di bagian komunikasi dari salah satu maskapai besar Indonesia menyatakan hal ini. “Coba Anda hitung,” katanya, “Sekali iklan di Kompas, Media Indonesia, belum lagi di TV, bisa habis berapa? Bayar agency iklan berapa? Sekali iklan bisa habis sekian ratus juta, cuma di satu media. Itu juga belum karuan dilihat orang,” tuturnya.
Praktisi humas ini kemudian bercerita lebih lanjut, daripada pihaknya buang uang untuk iklan yang bisa habis sekian ratus juta itu, lebih baik uang itu ia peruntukkan untuk meng-entertain wartawan. “Sewa ruangan rapat di hotel, catering, bikin media kit paling cuma habis berapa,” katanya. Setelah acara selesai, si humas tinggal memberikan ‘uang saku’ ke para wartawan. Menurutnya ini lebih efektif malahan dibanding iklan.
Anggap saja wartawan yang datang 70 orang, satu orang dijatah 200 ribu rupiah, yang bersedia menerima amplop 50 orang sehingga pengundang hanya keluar sekitar Rp.10 juta. Dari sekian banyak wartawan yang hadir ambillah setengahnya saja yang memuat berita yang berkaitan dengan si pengundang. Artinya, perusahaan sudah ‘tampil’ di 25 media. Bayangkan kalau perusahaan harus beriklan di 25 media itu, berapa miliar yang harus dikeluarkan? Dan itu hanya satu kali iklan.
“Buat undang wartawan paling besar habis 200 juta. Kalau dibanding iklan bisa habis berapa puluh miliar?” Kata si Humas. Memang bukan berarti perusahaan tidak beriklan sama sekali di media massa. Tapi saat ini perusahaan harus berhitung ulang soal beriklan. Dari 3 kali menjadi cuma sekali dan di media-media yang benar-benar kredibel.
Pertanyaannya sekarang, adakah cara lain selain beriklan untuk membangun sebuah citra positif di masyarakat? Salah satu yang mulai berkembang saat ini adalah dengan membuat dokumentasi berupa buku, baik membuat buku secara utuh maupun mensponsori sebuah buku yang mengangkat suatu isu yang berhubungan dengan perusahaan.
Buku utuh adalah sebuah buku yang didedikasikan secara utuh untuk perusahaan. Misalkan, sebuah perusahaan pertambangan membuat buku fotografi yang mendokumentasikan seluruh area tambangnya yang tersebar di beberapa tempat. Buku itu berisi soal foto-foto tambang, cara menambang, foto sejarah perusahaan, dan bisa juga foto-foto para pekerja.
Sedangkan sponsor pembuatan suatu buku maksudnya si perusahaan mendanai sebuah proyek buku yang sedang dibuat oleh pihak di luar perusahaan. Misal, seorang penulis buku ingin membuat sebuah karya tulis soal pariwisata di sebuah daerah. Perusahaan bisa ikut menyumbang dana untuk perjalanan itu. Tentu ada hitung-hitungan dengan si penulis, contohnya dengan cara memasukkan logo perusahaan di beberapa halaman, bisa juga yang lebih eksklusif lagi dengan mencantumkan kata-kata “Exclusively supported by: (Nama perusahaan)”
Berapa biaya pembuatan buku macam ini? Banyak faktor yang menentukan, mulai dari jumlah yang akan dicetak, jenis kertas yang dipakai, jumlah halaman, hingga siapa penulisnya. Yang perlu dicatat adalah, penulis terkenal belum tentu menulis dengan baik. Ketahui karakter si penulis, sesuaikan dengan konten yang ingin dibuat.
Oh ya, harga pembuatan buku ini juga sangat tergantung pada dijual atau tidaknya si buku. Kalau buku akan dijual secara bebas di toko-toko buku tentu perusahaan harus menggandeng penerbit yang kenamaan agar si buku tersebar dengan baik di channel penjualan mereka. Terkadang agak susah untuk mencari penerbit yang kredibel. Kalau begini triknya adalah, hubungi langsung penulis, perintahkan penulis untuk mencarikan penerbit. Cluenya, ada beberapa penulis lepas yang bisa membantu mencarikan penerbit.
Mau dijual atau tidaknya sebuah buku pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan jika buku dijual adalah perusahaan punya pendapatan (walau kecil) dari royalti sebuah buku, buku juga bisa dipastikan tersebar dengan baik. Memang buku tersebut belum tentu laris manis, tapi paling tidak banyak yang membaca. Tingginya readership inilah yang dikejar.
Sebaliknya, kekurangan dari sistem ini adalah penerbit berhak untuk memutuskan apakah buku ini layak diterbitkan atau tidak. Jika penerbit merasa si buku tidak laku dijual, maka penerbit pun tidak ingin ambil resiko. Triknya, kembali lagi, jangan langsung menghubungi penerbit, hubungi saja individu-individu si penulis, beberapa dari mereka bisa membantu memecahkan masalah ini. Bukan dengan cara kotor macam suap dan sejenisnya. Si penulis dan penerbit nanti akan menghitung biaya yang akan timbul jika buku itu diterbitkan (walaupun si penerbit menyatakan bahwa buku tidak akan laku dijual).
Prinsipnya, si pendana, dalam hal ini penerbit akan dibebankan biaya distribusi dan promosi. Tapi tenang saja, biasanya biaya-biaya itu tidaklah sebesar jika perusahaan beriklan.
Bagaimana dengan buku yang tidak dijual bebas? Buku jenis ini biasanya hanya disebar secara terbatas oleh perusahaan untuk para stakeholders, distributor, agen, atau mungkin customer yang sangat loyal. Kelebihannya, apapun isi buku itu dan seberapa banyak atau sedikit pun buku yang dicetak akan tetap dilayani oleh si penulis dan penerbit karena resiko kerugian mereka sangat kecil. Penerbit bahkan terkadang bersedia untuk membantu pendistribusian buku ini.
Untuk membuat sebuah buku yang baik seharusnya perusahaan tak perlu repot-repot memikirkan soal konten buku yang akan dibuat. Perusahaan tinggal menetapkan goal yang ingin dicapai. Jadi, pastikan dan hubungi penulis yang bisa membangun sebuah isu dengan baik dan bukan hanya sekedar menjadi juru ketik. Penulis yang berkualitas adalah penulis yang mampu menentukan angle/sudut pandang yang menarik bagi si pembaca sehingga sebuah buku tidak terkesan seperti katalog perusahaan.
Kesimpulannya, tidak sulit lagi bagi perusahaan untuk membangun namanya sendiri. Tidak hanya lewat jalur iklan atau event, buku pun menjadi senjata paling ampuh.
Oh ya, penulis dari artikel ini pun seorang penulis buku, lho… Jadi jangan sungkan berkonsultasi dengan saya. J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H