Fiuhhhh.....hari yang cukup melelahkan. Luar biasa, 3 anak yang sekolah ditempat berbeda harus mengikuti pensi alias pentas seni dan acara wisuda di sekolah mereka masing-masing. Lokasinya lumayan jauh-jauh, satu di daerah Cempaka Putih Jakarta Pusat dan dua di daerah Jakarta Timur. Mau tidak mau harus bolak balik antar jemput, bolak balik ngedrop anak-anak, istri, dan berbagai atribut pentas seni dan wisuda mereka. Luar biasa rontok rasanya pinggang, meskipun rasa itu akhirnya hilang setelah melihat anak-anak tampil dan diwisuda sebagai tanda kelulusan mereka.
Kawan saya yang belum lama kenal, saya ceritakan kisah ini terbengong dan takjub. Dia hanya bisa berkata : "gila lo hebat banget, anak 3 udeh jadi sarjana."...Ha..ha..ha..hanya bisa tertawa. Maklum kawan saya ini belum tahu benar komposisi keluarga saya. Mungkin anda yang tidak memperhatikan clue kata "pensi" akan berpikir sama dengan kawan saya itu. Padahal "pensi" itu dari tahun ke tahun, teutama di kota-kota besar sudah sangat akrab bagi orang tua yang punya anak sekolah di Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), SD, bahkan SMP sampai SMA. Nah, 3 anak saya itu yang pertama baru lulus SD, yang kedua lulus TK dan yang ketiga lulus KB. Jadi bukan wisuda karena jadi tukang insinyur kayak si Doel anak Betawi.
Entah darimana asalnya dan siapa yang memulai kelulusan dengan pensi dan toga, hingga hal ini sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Saya saja sudah mengenal tradisi ini dari 12 tahun yang lalu ketika anak pertama saya lulus KB. Hingga Dia lulus TK, SD, sampai SMP masih saja ada tradiasi tersebut dan semakin dasyat dari sisi kemeriahan, kemewahan, dan tentu biaya yang harus orang tua keluarkan.
Di tingkat KB sampai SD mungkin masih bisa kita terhibur dengan melihat kelucuan anak-anak menari dan menyanyi. Tapi begitu mereka sudah lulus SMP atau SMA, ketar-ketir kita sebagai orang tua harus jujur diakui mulai menghantui. Maklum saja gaya seremonial kelulusannya sudah beda. Apalagi dikota-kota besar, bukan lagi aula sekolah atau gedung pertemuan sederhana yang digunakan, tapi sudah di hotel atau cafe yang mereka sewa dengan hingar bingar musik dance, hip hop, pop, semi rock, dll. Bukan lagu balonku ada 5 atau potong bebek angsa. Sebagai orang tua saya ngotot untuk hadir diacara perpisahan anak-anak yang telah menginjak remaja seperti itu. Meskipun hanya bisa memantau dari kejauhan, namun yang penting bisa mengawasi dan ikut menjaga jangan sampai disusupi oleh orang-orang tidak bertanggungawab.
Capek hari ini mungkin klimaks dari serangkaian ritual yang orang tua dan anak-anak lakukan menjelang dan sesudah kelulusan. Sebelumnya anak-anak harus berlatih selama 2 minggu berturut, termasuk dihari yang seharusnya jatah libur mereka. Anak-anak pun mengeluh bosan dan capek. Paling tidak dihari liburnya, terutama yg sudah lulus SD, menginginkan liburan keluar kota atau ketempat yang mereka sukai setelah otaknya dipaksa bekerja lebih ekstra untuk menempuh ujian nasional.
Belum lagi energi dan waktu orang tua yang harus juga mendampingi dan mengurus ini itu. Itu baru dari sisi waktu dan tenaga loh. Belum dari sisi biaya yang harus dikeluarkan orang tua dengan jumlah yang buat sebagian orang tua mungkin memberatkan. Saya prihatin sebenarnya jika sekolah menyerahkan sepenuhnya urusan pesta wisuda ini kepada Wakil Orang Tua Kelas (WOK). Kenapa? Kadang orang tua yang duduk di WOK ini lebih memetingkan seleranya tanpa memperhatikan kemampuan orang tua lain yang tidak duduk sebagai pengurus WOK.
Mulai dari seragam panitianya, seragam ibu-ibu siswa, sampai seragam anak-anak yg ikut pentas dan pemilihan tempat penyelenggaraan acara yang tidak murah sewanya beserta tetek bengek propertinya. Kalau saya perhatikan dari WOK di sekolah rata-rata adalah ibu-ibu berduit, walaupun mungkin itu duit suaminya...hehehe. Wajar saja, karena kalau mau jadi pengurus WOK harus siap mengeluarkan uang lebih, menyediakan kendaraan kita untuk dipakai oleh sekolah apabila ada acara anak-anak ke luar sekolah, dll. Ya, ujungnya memang cuma ibu-ibu yang keliatan punya kemampuan itu yang ditunjuk sebagai pengurus WOK atau memang sengaja mengajukan diri sebagai pengurus WOK agar lebih “terlihat”.
Celakanya apabila ada kegiatan yang memerlukan partisipasi orang tua siswa untuk membayar, duit yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Padahal tidak semua orang tua mampu. Namun, karena harus berpartisipasi dengan dasar takut nanti sertifikat atau ijajah kelulusan ditahan atau karena gengsi atau karena tidak tega kalau anaknya tidak ikut, akhirnya mau tidak mau duit harus dicari meski pinjam kiri kanan. Apakah WOK tahu kalau uang yang orang tua setorkan hasil pinjam tetangga atu cash bon kantor dulu. Tidak toh...yang penting semua harus bayar ikut atau tidak ikut acara tetsebut. Seperti ada unsur pemaksaan sebenarnya. Mereka tahulah para orang tua pasti akan berusaha semaksimal mungkin menyediakan dananya, karena juga ingin melihat anaknya senang dan tampil di panggung meskipun hanya sebentar dan jadi penggembira saja.
Itulah ritual kelulusan dengan pensi dan wisuda ala sarjana yang semakin menjamur dan jadi tradisi. Entah siapa yang telah berdosa memulai dan memasyarakatkannya. Padahal ritual sekolah dan biaya yang harus dikeluarkan orang tua belum selesai. Anak-anak yang akan melanjutkan ke sekolah tinggkat berikutnya, baik yang naik kelas maupun yang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, masih membutuhkan biaya dan menjalani ritual pendaftaran yang juga tidak kalah ribet dan melelahkannya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H