Pernah suatu ketika, secara tidak sengaja kamu mengajakku melewati satu kisah serupa. Satu hari di bawah deras hujan. Kita duduk berhadapan di samping sebuah jendela yang menghadap keluar: menggenggam secangkir latte panas, menghirup aroma manis kopi dan susu yang membaur dengan bau tanah tersiram hujan, mendengar alunan lembut serenade dari sebuah gramofon tua dan piringan hitamnya.
Sementara rintiknya semakin menderas, aku membiarkan kenangan itu mengisi sebuah ruang kosong dalam pikirku―sebuah kenangan tentang hujan. Serta mulai mengacuhkan kamu yang menunggu satu waktu untuk mengakhiri kebisuan menggantung di tengah kita.
Lalu kamu mulai bicara: kenapa tidak membuat satu kisah lain di bawah hujan―sebuah cerita yang lebih manis? Dan kamu mengajakku keluar, menggamit tanganku untuk berjalan di tengah hujan. Menyipratkan air dinginnya tepat di wajah kemudian mengusapnya lembut.
Kamu seakan tidak lagi peduli, juga tidak terusik pada satu kenyataan bahwa hal ini mungkin saja semakin mengingatkanku pada kenangan yang sama.
Sejarah selalu berulang, begitu katamu. Tapi cerita ini milik kita sendiri, bukan hanya sebuah kenangan yang direguk secara tidak sengaja atau sebuah napak tilas dari cerita yang nyaris serupa.
Aku tersenyum dan mulai meyakini satu hal yang begitu sederhana: ini cerita yang berbeda. Kisah hujan dengan kamu berada di antaranya, kamu yang menjembatani satu kisah baru dengan sebuah kenangan yang harusnya dilipat dan dikemas rapat dalam sebuah peti.
Dan saat hujan mulai mereda, kamu menarik lenganku perlahan. Membimbingku pada perjalanan-perjalanan lain yang tidak pernah terbayang. Kemudian kamu tersenyum, masih dengan senyum serupa saat kamu mengajakku ke sini.
Senyum yang selalu tulus. Dan menenangkanku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H