seminggu menjelang musim-musim ujian nasional seperti ini, jadi ingat pengalaman UAN waktu SD, SMP, dan SMA. Betapa “orang pinter masih kalah sama orang bejo”. Sering dan sudah menjadi tradisi, setiap akan menjelang minggu-minggu ujian, para guru memberi nasihat terlebih secara pribadi kepada saya, “jangan lupa temannya dibantu ya” dalam tanda kutip supaya semua bisa lulus, terlebih kalau nilainya bisa bagus2. Maka setelah UAN selesai, jangan heran jika justru anak-anak yang rajin membolos malah mendapatkan nilai sempurna pada mata pelajaran matematika, padahal bisa jadi mereka sama sekali g paham tentang soal yang mereka kerjakan. Jangan heran pula, kalau teman yang biasanya biasa-biasa saja, bisa jadi masuk dan diterima disekolah unggulan dengan NUN yang lebih tinggi dari kita, padahal 99% nya hasil contoan bersama, ditambah 1% “faktor bejo” tsb.
Jangan tanyakan tentang gimana rasanya ditikung dengan cara seperti itu. Kecewa itu pasti, sakit hati bisa jadi. Tapi siapakah yang bisa menebak “kebejoan” yang ada pada diri seseorang?
Lantas apakah saya berhak merasa iri dengan mereka yang bejo-bejo itu? atau mungkin saya menyesal telah memberi contoan jawaban yang benar sekaligus “dibagikan cuma2” tsb? Ah, tentu saja tidak, karena pengetahuan hanya akan menjadi milik mereka yang bekerja keras dan jujur dalam berusaha. Untung saja seleksi masuk ke perguruan tinggi tidak hanya melihat ke NUN saja. Pada akhirnya mereka yang “bejo” tetap dipaksa untuk belajar dan berusaha lebih giat lagi demi menyempurnakan kebejoan mereka. Pada akhirnya hanya “orang2 yang berusaha lebih dari sekedar bejo” yang bisa mencapai cita2nya.