Mohon tunggu...
Suarta Kasmiran
Suarta Kasmiran Mohon Tunggu... Freelancer - -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketamakan yang Mengancam Alam: Sosok Ayah dan Hutan yang Dipeliharanya Sejak 1997

17 Juni 2024   20:06 Diperbarui: 9 Juli 2024   10:18 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelestarian hutan tanggung jawab siapa sebenarnya? Bila melihat grafik kehilangan hutan primer tropis 2002-2022 dari Global Forest Watch, tentu kita dapat berpikir betapa seriusnya masalah kehilangan hutan di Indonesia, baik karena kebakaran maupun non-kebakaran. Pelestarian alam (hutan) adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar kewajiban pribadi. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta kewajiban menjaga kelestarian lingkungan. 

Pakar seperti Prof. Emil Salim juga menekankan pentingnya peran aktif masyarakat dalam menjaga ekosistem. Konvensi internasional seperti CBD dan UNFCCC, serta undang-undang nasional seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mendukung peran individu dan komunitas dalam konservasi hutan. 

Berpijak pada kerangka kebijakan dan pemikiran-pemikiran sustainable itu, saya akan bercerita tentang dedikasi ayah saya, seorang guru di pedalaman Kapuas Hulu yang menunjukkan dedikasinya dalam pemeliharaan hutan. Ayah saya telah memelihara hutan di sebuah daerah di Kapuas Hulu seluas hampir 7 hektar sejak tahun 1997. Dengan kecintaannya pada hutan, satwa dan pepohonan, ia tidak memperkenankan kami, anak-anaknya, membuka dan menggarap lahan itu menjadi kebun produksi. Bahkan, ketika ia melihat warga mulai membabat hutan serta marak penjualan tanah warga kepada perusahaan rumput gajah (??) rumput gajah (??), ia hanya memperbolehkan kami menanam pohon produksi di sekitar batas hutan untuk menandai kepemilikan tanpa merusak ekosistem.
Ketika usaha pelestarian disalahartikan dan dihadang oleh kebijakan yang kontroversial, apa yang harus dilakukan? Konflik ini bermula ketika sebuah desa di Kecamatan Kalis, Kapuas Hulu, tiba-tiba mengklaim bahwa hutan yang telah dipelihara oleh ayah saya sejak 1997 adalah milik desa, dengan alasan bahwa hutan tersebut tidak dijadikan ladang. Ayah saya telah menunjukkan bahwa tanah itu ditandai dengan tebasan secara terus menerus dan pohon karet untuk menunjukkan kepemilikannya, namun pihak desa bersikeras bahwa tanah yang tidak dijadikan ladang otomatis menjadi milik desa. 

Meski para pemilik lahan di sekitar hutan tersebut secara aklamasi mengakui bahwa lahan itu adalah milik ayah saya, pihak desa tetap tidak bergeming dan terus menekan kami. Berbagai dialog sudah dilakukan. Landasan kebijakan desa bahwa tanah diakui bila telah dijadikan ladang adalah kebijakan kontroversial. Kebijakan ini tidak hanya mengancam hutan yang telah lama dilestarikan, tetapi juga mengabaikan usaha pelestarian yang telah dilakukan dengan penuh dedikasi. 

Kebijakan yang memaksa pembabatan hutan adalah langkah mundur dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Petugas desa telah menunjukkan sikap yang memprihatinkan dengan memaksa agar lahan hutan yang telah dipelihara oleh ayah saya dijadikan ladang.  Kebijakan ini tidak hanya mengabaikan upaya pelestarian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, tetapi juga merusak ekosistem yang telah dilindungi. Pembabatan hutan untuk dijadikan ladang akan mengakibatkan hilangnya habitat bagi satwa, degradasi tanah, dan peningkatan emisi karbon. Upaya ayah saya untuk menjaga keutuhan hutan ini telah memberikan manfaat lingkungan yang signifikan, termasuk dalam hal pelestarian air. Hutan yang sehat adalah sumber utama bagi penyimpanan air, membantu mengatur siklus hidrologi, mencegah banjir, dan menjaga kualitas air tanah. Namun, semua ini terancam oleh kebijakan yang tidak berpihak pada pelestarian alam. Dampak negatif dari kebijakan tersebut juga dirasakan oleh masyarakat sekitar, yang seharusnya mendapatkan manfaat dari lingkungan yang sehat dan lestari.

Setiap orang memiliki peran untuk menjaga kelestarian alam. Mari kita mulai dengan menghargai upaya yang sudah ada.  Pelestarian alam bukan hanya tanggung jawab individu seperti ayah saya, tetapi juga merupakan tugas bersama yang harus kita emban. Dengan mendukung upaya pelestarian hutan yang telah dilakukan selama lebih dari dua dekade, kita bisa memastikan bahwa ekosistem tetap terjaga dan bermanfaat bagi generasi mendatang. Saya mengajak pembaca untuk menyadari pentingnya menghargai dedikasi mereka yang telah berjuang melestarikan alam. Mari kita bersama-sama mendorong masyarakat dan pihak berwenang untuk lebih bijaksana dalam mengelola hutan dan lahan, memastikan kebijakan yang dibuat tidak merusak lingkungan, tetapi justru memperkuat upaya konservasi. Hanya dengan bekerja sama, kita bisa melindungi alam demi masa depan yang lebih baik.

Harapan saya, kita semua bisa bersatu padu melawan ketamakan yang merusak alam demi masa depan yang lebih baik. Saya berharap hutan yang telah dipelihara ayah saya selama lebih dari dua dekade bisa tetap lestari, menjadi rumah bagi satwa liar, dan paru-paru hijau bagi lingkungan sekitar. Saya berharap desa memberikan pengakuan atas tanah tersebut. Saya akan terus bersama ayah saya dalam memperjuangkan hutan ini. Mari kita menolak ketamakan yang merugikan alam dan berjuang bersama untuk menjaga kelestarian bumi kita. Setiap langkah kecil yang kita ambil bisa membawa perubahan besar bagi masa depan yang lebih hijau dan sehat. Salam lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun