Malam itu hujan turun begitu kencang. Angin berembus dan meniup melewati cela jendela rumah yang terbuat dari kayu. Udara dingin kian menjadi-jadi. Apina masih tetap terjaga. Matanya menolak untuk pasrah meski kantuk sudah mengerubungi kepalanya. Jangan pula untuk tidur, berkedip pun seakan ia keberatan. Perasaannya lari ke mana-mana, seperti percikan air hujan yang menghantam atap seng rumah ibu mertuanya itu. Pikirannya sejenak berpacu dengan waktu. Suaminya, Okem belum juga pulang hingga malam selarut itu. Padahal saat ia pamit untuk keluar mengantar penumpang jam dinding di kamar mereka masih belum beranjak dari angka tujuh. Baru saja ia selesai salat maghrib.
   Â
Lelaki yang belum juga seratus hari menjadi suaminya itu adalah orang yang tak banyak santai. Setiap waktu dianggapnya kesempatan untuk diisi dengan hal-hal berguna. Selain mengojek Okem masih sering ikut temannya sebagai kuli panggilan untuk proyek bangunan di sekitar kampung mereka. Di malam hari jika kebetulan ada yang meminta jasa ojeknya ia selalu menyanggupi.
  Â
Keluarga kecil yang baru mereka bangun tak punya banyak simpanan uang atau usaha tetap sehingga Okem sebagai kepala keluarga sadar mesti bekerja lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Beruntung ada rumah peninggalan orang tua Okem yang bisa jadi tempat mereka bertedu. Meski agak kecil dan sudah termakan zaman Okem bersyukur paling tidak ia bisa tetap tinggal di situ bersama Apina.
  Â
Hujan tak ada jeda. Jarum jam bergulir membawa malam semakin jauh. Beberapa kali Apina menatap layar ponselnya yang bergaris di sana sini. Ia menatap foto suaminya, dan di dalam hati ada suara penyesalan mengapa untuk sebuah ponsel saja Okem bersikeras belum akan membeli yang baru setelah yang sebelumnya dicuri di tempat kerjanya. Apina tidak saja terkurung seorang diri, ketakutan-ketakutan membuat hatinya naik turun. Mau menelpon, Okem tidak punya ponsel, hendak bertanya dan minta pendapat tapi pada siapa. Ia cuma bisa merapalkan doa demi doa sebagai jalan bagi suaminya itu agar lekas kembali.
   Â
Sebagai perempuan muda, yang juga tengah menanggung beban kehamilan, ia kadang suka khawatir berlebihan. Apalagi untuk urusan seperti ini, ia sadar memilih tidur tak akan membuatnya tenang. Ia akan mengepung dirinya sendiri di dalam gelisah yang ia buat. Hingga suaminya ada di depannya.
    Â
Di tengah rasa bercampur yang menyudutkan dirinya itu suara motor melintas yang membelah hujan di tengah malam sesekali membuatnya tersadar. Ia bertanya-tanya kapan akan ada suara motor yang tandas di depan rumah mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu mengejarnya berkali-kali sampai pada suara kesekian, ia tahu persis itulah suara motor Supra milik Okem.
   Â
Kakinya yang lemas tiba-tiba saja bisa diajak berdiri tegak. Laki-laki dengan mantel hujan berwarna abu-abu baru saja mengetuk pintu yang tampak dari balik jendela. Sosok itu seketika menyaput segala risau di kedalaman matanya. Ucapan salamnya seperti pahat yang baru saja mengikis sembilu, dan langkah-langkah kaki suaminya ia rasakan tak ubahnya oasis di tengah-tengah sahara yang amat tandus.
   Â
Apina sejenak bisa tersenyum. Matanya basah. Diciumnya tangan sang suami. Tak ada adegan peluk-pelukan.
   Â
"Maaf ya, malam ini pasti saya sudah bikin khawatir. Tapi memang tadi itu ada pohon tumbang. Mungkin gara-gara hujan dan angin makanya lewat jalan yang lebih jauh," Okem memberikan penjelasan seterusterangnya situasi. Ia tak bisa melihat istrinya tersuruk dalam kesedihan meski cuma sebentar.
  Â
Apina legah. Sebuah kalimat keterangan yang sekaligus mengusir kegundahannya. Senyumnya merekah kuat-kuat sedang air matanya jatuh. Dan sejurus berlalu mereka sudah ada di dapur. Ia menyiapkan makan seadanya. Menunggui hingga selesai.
    Â
Apina kemudian mengambil situasi dengan suaranya yang setengah tegas.
  Â
"Kayaknya kamu beli hape sudah. Biar yang tidak pakai kamera yang penting bisa ditelepon sama kirim pesan." Nada bicara yang mengarah pada bujukan. Okem hanya menjawabnya dengan senyum.
  Â
"Baiklah. Tapi nanti dulu. Kalau gajiku sudah cair." Laki-laki setengah tambun itu coba menenangkan istrinya dengan ucapan barusan.
   Â
"Apa tidak sebaiknya cepat dibeli. Bukan apa-apa saya cuma khawatir kejadian-kejadian seperti ini berulang," protesnya.
  Â
Diraihnya segera tangan istrinya. Okem menatap lekat-lekat. "Simpan saja khawatirmu untuk kesempatan yang lain. Semua kepergianku, yang kau sendiri yang melepasnya dengan doa-doa, semoga kepulangannya selalu di depanmu dengan baik-baik pula," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H