Selama ini saya dan banyak orang yang mengenal Ongen menggambarkannya sebagai sosok yang anti dunia pendidikan. Baginya segala hal yang ada ketersangkutannya dengan pendidikan adalah serupa musuh. Tak ada tempat barang sejengkal pun di lubuk hati maupun kotak pikirannya untuk dunia pendidikan. Gedung sekolah, buku pelajaran, seragam, sampai rupa-rupa gelar akademik dalam dunia pendidikan tak ubahnya pemandangan yang paling pertama ingin ia singkirkan jauh-jauh.
    Â
Ongen selalu berkelakar untuk apa kuliah kalau gelar sarjana tak bisa dipakai menebus barang di toko orang lain. Atau sederhananya ia akan bilang percuma saja sekolah tinggi-tinggi, pun pada akhirnya belanja di swalayan pun masih harus tetap bayar. Soal ini Ongen paling tidak suka dibantah-bantah. Ia bersikukuh dengan pendapatnya bahwa sekolah tinggi-tinggi bukan sesuatu yang penting. Di satu siang ia cuma bilang kalau memang harus kuliah maka ia mau tetap dibayar setiap bulan layaknya orang bekerja dan ketika selesai pun sudah ada kepastian dapat kerja yang bagus. Tapi itu dulu. Saya tidak tahu apa sekarang sudut pandangnya masih sama.
    Â
Cerita tentang Ongen sejatinya tak berhenti hanya tentang keengganannya menerima fakta pentingnya pendidikan. Ia juga menyimpan kenyataan-kenyataan lain yang tak banyak orang tahu.
Paling mencolok adalah aktifitasnya beternak ayam. Mengenai yang ini saya akan jujur bahwa saya sendiri belum pernah melihat langsung orang yang menyayangi ayam ternak melebihi cara Ongen menyayangi ayam-ayamnya. Ia memperlakukan ternaknya dengan kasih sayang layaknya ialah induk dari ayam-ayam itu. Perhatian luar biasa ia curahkan siang dan malam persis seorang ibu pada bayi kecilnya. Pengorbanannya bukan isapan jempol belaka. Ia akan rela melakukan apa saja demi ayam peliharaannya. Bahkan jika itu hal-hal gila sekali pun.
  Â
Dan di antara sejumlah rekaman ingatan saya tentang cara ia merawat ayam-ayamnya, ada satu yang paling tidak bisa dilupakan. Kejadian ini terjadi saat saya dan Ongen sudah kelas 3 Aliyah.
Siang itu, hari begitu cerah. Di sekolah sudah masuk jam istirahat. Jarak rumah dan sekolah sebenarnya cukup jauh tapi di belakang sekolah ada jalan pintas yang sengaja dibikin. Jalan tikus itu membelah hutan dan melewati tebing curam. Meski lumayan berbahaya jalan itu malah jadi favorit banyak siswa. Entah sebagai antisipasi keterlambatan hadir atau jadi sarana bolos. Ongen sendiri sering melewati jalan ini. Saat jam istirahat ia biasa kembali ke rumah untuk berbagai keperluan. Mulai dari makan, buang air, cek perahu, hingga satu yang tidak bisa terlewatkan yakni melihat ayam-ayam ternaknya di kolong rumah.
   Â
Untuk urusan yang terakhir itu Ongen biasanya akan lebih lama. Padahal ia hanya datang untuk melihat dan memastikan semua baik-baik saja, namun selalu ia bisa lebih lama bersama ayam-ayamnya itu.
  Â
Seperti di satu siang ia lagi-lagi menyempatkan waktu untuk pulang ke rumah di jam istirahat. Di bawah kolong rumah neneknya ayam-ayam itu biasa bermain. Di situ juga ada dua buah petarangan atau kalau di kampung namanya katipa. Tempat semacam sangkar yang dipakai induk ayam mengerami telur-telurnya. Siang itu Ongen tiba-tiba dibikin kaget karena satu petarangan sudah kosong. Ia setengah panik bertanya pada tetangganya apa tahu di mana ayam yang dimaksud. Namun si tetangga bukannya memberi jawaban tapi malah memberi penjelasan lain yang buat Ongen jengkel setengah mati.
  Â
Saat Ongen hampir saja marah ibu lurah pun datang. Ibu lurah dimaksud di sini bukan ibu lurah sungguhan melainkan tetangga dekatnya yang lain. Kehadiran ibu lurah membuat Ongen keder dan terpaksa menahan marahnya. Pelan-pelan ia coba menenangkan diri. Sejenak ia lalu bertanya pada ibu lurah barangkali tahu keberadaan ayam tadi atau paling tidak sempat melihat sebelumnya. Namun bukannya memberikan jawaban, ibu lurah yang juga sudah jengkel dengan sikap Ongen malah menyuruhnya untuk duduk sendiri di dalam petarangan itu untuk mengerami telur-telur ayam yang akan menetas.
   Â
"Ongen, kamu duduk sendirimu sudah dalam katipa itu."
  Â
Mendengar itu Ongen cuma diam. Tak tahu harus membalas berkata apa. Lagipula pikirannya masih belum fokus pada hal lain selain seekor ayamnya yang belum ditemukan tadi.
   Â
Selain perkara di bawah kolong rumah yang melibatkannya dengan ibu lurah, ada juga satu kejadian yang agaknya membekas bukan hanya di pikiran saya sendiri tapi juga di beberapa orang lainnya.
  Â
Kejadian itu di hari minggu siang. Ada agenda piknik di pantai sembari bakar-bakar ikan. Ongen juga ikut. Saat itu semua perlengkapan maupun bahan-bahan bakar ikan sudah dibawa. Di langit sedang ada mendung besar. Namun hujan belum juga turun. Sementara rombongan sudah ada di pantai. Ikan sudah siap dibakar di bawah pohon. Tapi Ongen nampaknya cukup gelisah siang itu. Tak seperti biasanya di mana ia selalu jadi yang paling bersemangat. Setelah diam tanpa kata beberapa saat ia pun akhirnya mau berkata-kata.
   Â
"Beta ingat beta pung ayam e. Nanti akang babasa lai," katanya dengan wajah masygul.
 Â
Ia khawatir ayam-ayamnya kehujanan. Seperti ada perasaan berdosa kalau-kalau hujan memang benar-benar turun, namun ia malah ikut makan ikan bakar sementara ayam-ayamnya justru kedinginan.
    Â
Karena iba seorang teman lain mengantarnya pulang untuk melihat ayam-ayam itu. Mengurung semuanya di satu tempat lalu kembali lagi ke pantai.
    Â
Begitulah. Meski terkesan tak peduli dengan hal-hal baik Ongen masih menyimpan sisi manis di dalam dirinya. Bahkan itu untuk ayam ternak sekali pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H