Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sarjana

16 Januari 2022   13:30 Diperbarui: 16 Januari 2022   14:02 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: baranewsaceh.co


Dahulu, ada sekitar 30 tahun ke belakang, label sarjana yang melekat pada diri seseorang adalah sebuah keistimewaan. Mereka yang lahir dari rahim universitas dengan menyandang gelar akademik tingkat satu ini digadang-gadang bakal punya masa depan lebih baik dibanding yang di bawahnya. Mereka dipandang lebih berkompeten dalam satu bidang keahlian. Tak sulit diserap lapangan kerja.
       
Tapi, itu dulu. Mereka yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana tak serta-merta memiliki dunia yang mulus dalam hal karier pekerjaan. Banyak yang banting setir dan memilih jalan berbeda dari bidang ilmu yang ditempunya selama di bangku kuliah.
     
Belakangan situasi mulai berbeda. Sarjana bukan lagi hal mentereng. Kemudahan meraih pendidikan dengan menjamurnya program beasiswa di sana-sini membuat banyak orang bisa mencapai gelar pendidikan lebih tinggi di usia muda. Magister dan doktor kian gampang ditemui di masyarakat kita. Hal ini secara tidak langsung memicu lahirnya kelas baru di lingkungan sosial kita di mana sarjana bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Kenyataan ini didukung dengan kehadiran internet yang membuat akses informasi dan pengetahuan-pengetahuan baru bisa dimiliki semua orang.
       
Dulu, mudah saja membedakan mana sarjana mana non-sarjana. Identifikasi bisa dilakukan dari hal sepele. Tapi kini lain ceritanya. Anda harus bertanya kepada seseorang untuk tahu gelar sarjana apa yang ada di ijazahnya. Jika tidak maka anda pasti akan salah kalau harus menebak belaka.
       
Di kementerian terkait, ada data yang menuliskan rata-rata tiap tahun universitas-universitas di dalam negeri sukses mencetak 1,7 juta sarjana. Angka itu naik 3 kali lipat dari dua dekade lalu. Lantas ke mana perginya sarjana-sarjana ini selanjutnya? Itu tak saja jadi pertanyaan tapi sekaligus membundel menjadi sebuah kekhawatiran serius.
     
Ketidakmampuan beradaptasi dengan dunia baru, kurangnya skil, fokus dan konsentrasi yang tertuju hanya pada jadi PNS, kerap membuat banyak lulusan sarjana justru tersungkur lebih awal saat memasuki dunia yang lebih serius. Akibatnya banyak dari mereka yang terpaksa bekerja serabutan. Sejumlah pekerjaan mereka jalani, dengan maupun tanpa syarat adanya ijazah sarjana dan lembaran transkrip nilai. Pekerjaan-pekerjaan yang dulunya bahkan tak sampai mampir di kepala saat jadi mahasiswa.
       
Fakta pontang-pantingnya sarjana di negeri ini tak pelak melahirkan stigma tersendiri bagi mereka.
       
"Ah, untuk apa sekolah bertahun-tahun. Habiskan uang tidak sedikit. Kelar-kelar pergi jadi driver ojol," sindir seorang driver ojol pada sejumlah mahasiswa pelintas jalan tak jauh dari tempatnya mangkal.
       
Ada lagi sindiran lainnya yang kadang-kadang bikin jengkel. Menuding perempuan sengaja menghabiskan usia di bangkuh kuliah hanya untuk mengulur waktu datangnya jodoh di mana akhirnya pun cuma jadi ibu rumah tangga.
       
Ada apa dengan jadi driver ojol? Mengapa pula jika seorang perempuan yang punya gelar sarjana tapi berakhir jadi ibu rumah tangga penuh waktu dipermasalahkan? Toh tak ada yang menyimpang di sana. Pun bukankah menjadi seorang ibu rumah tangga itu pekerjaan yang sangat serius? Seorang perempuan yang jadi ibu rumah tangga bukan saja bertugas memasak dan membersihkan rumah. Ia juga mengawal tumbuhnya manusia baru yang akan jadi sebuah generasi. Baik buruknya satu generasi itu juga ditentukan dari peran ibu rumah tangga. Pendidikannya akan jadi modal bagus untuk tugas panjangnya bertahun-tahun.
     
Menjadi sarjana adalah sebuah tujuan dari pilihan menempuh pendidikan. Di titik mereka berdiri, apatah dalam kondisi sedang tidak punya pekerjaan, tak pernah ada niatan untuk jadi bahan sindiran atau olok-olok orang lain.
       
Bertahun-tahun waktu dihabiskan dengan harapan masa depan yang cerah tanpa perlu jadi korban ketidakpandaian orang-orang menyuarakan kritik.
     
Selalu ada perasaan bahagia atas capaian gelar sarjana. Di balik keringat dan berlelah-lelah selalu terselip doa-doa dan pengharapan untuk masa depan yang baik. Tak ada yang tahu apa gerangan warna di hari kemudian. Setiap orang bisa mendesain mimpinya sesuka mau, menggambarkan rencana-rencananya, dengan dan tanpa adanya gelar sarjana, peluang dan hasil akhir tak selalu sama. Tapi percayalah segalanya cuma masalah waktu. Sebuah langkah baik tak pernah berbuah kesia-siaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun