Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wira Ananta Rudira, Masih Terus Berharap

25 April 2021   13:58 Diperbarui: 25 April 2021   14:18 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kedalaman jurang laut Bali sana kita tak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya tengah terjadi. Titik kapal itu telah ditengarai berada di kedalaman 850 meter. Di lokasi itu, putaran vertikal ke bawah gedung Burj Khalifa di jantung kota Dubai pun belum bisa mencapai dasarnya.
             
Pencariannya sudah dinaikkan dari submiss menjadi subsunk. Indikasi kuat kapal tenggelam. Statusnya pun sudah on eternal patroli. Berarti kapal tak akan pernah mendarat lagi ke pangkalan.
     
Di daratan, temuan tim di lapangan kian menguatkan dugaan kapal mengalami keretakan. Dugaan yang serasa seperti sembilu yang menyayat selembar kertas putih bernama keyakinan.
         
Di kedalaman 850 meter kondisi air tidak seperti yang dirasakan di kolam renang. Tekanan hidrostatis air meningkat sebanyak 1 atm setiap kedalaman 10 meter. Jika tekanan di udara adalah 1 atm, maka tekanan di kedalaman 850 meter adalah 85 atm. Sementara manusia hanya bisa bertahan pada tekanan sekitar 3 hingga 4 atm.
       

 
Secara matematis, perhitungan untuk mereka ditemukan hidup kecil sekali. Namun sekali lagi, sampai mereka benar-benar diketemukan, kita tak pernah bisa memastikan segalanya.
         
Saya membayangkan masing-masing dari mereka adalah prajurit yang gagah berani. Di pelukan palung laut yang sunyi sana mereka mungkin lebih banyak bergeming. Air mata mereka jatuh di dalam lautan yang gelap, mungkin juga jatuhnya tepat di atas genangan air laut yang masuk melewati celah bodi kapal yang katanya sudah retak itu.
             
Saya percaya mereka tak pernah takut mati. Sekali pun kematian itu jaraknya hanya sekian jam sedang malaikat pencabut nyawa sudah duduk di antara mereka.
         
Air mata yang berlinang itu bukanlah sebuah memoar. Apalagi ketakutan. Air mata yang jatuh di kedalaman ratusan meter itu adalah sebentuk rasa gelisah mereka, terhadap keluarga yang ditinggalkan, juga terhadap negara yang sudah menjadi janji akan mereka jaga. Ada semacam perasaan bahwa tugas itu tak mereka selesaikan.
Tapi tidak, tidak. Tugas itu telah mereka selesaikan dengan mulia. Negara dan seluruh rakyat akan menyimpan kisah pengabdian mereka di dalam sebuah memoar manis dan abadi tanpa sandi.
         
Saya masih membayangkan. Pikiran ini seakan coba melesat jauh menembus jurang-jurang lautan yang tak lagi tertembus cahaya matahari itu. Melihat wajah-wajah mereka dari dekat. Menemukan setangkai optimis yang diikat dengan doa-doa yang mereka taruh di saku dada yang kemudian basah oleh air mata.
       
Mereka sedang menghitung-hitung kemungkinan. Sama seperti kita yang mengukur sebuah harapan. Mereka tahu mereka berada di menit-menit paling krusial dalam sejarah hidup mereka masing-masing. Nyawa mereka berpacu dengan satu dua putaran bandul waktu. Mereka mendengar bagaimana langkah-langkah kematian itu mendekati mereka. Mungkin saja sudah berada dan mengintai di jendela kapal.
       
Satu dua orang dari mereka bergerak mengambil pena dan secarik kertas. Juga botol dan benda-benda kecil lain yang kedap air.
     
Saya membayangkan mereka coba menulis surat kecil pengantar pesan pamit pada keluarga dan negara. Surat-surat itu ditaruh dalam benda kedap air tadi lalu diikat pada tubuh masing-masing. Berharap mereka segera ditemukan. Apapun keadaannya.
         
"Jika aku tak lagi melihat ragamu kembali, aku tahu ke mana aku akan menemukanmu. Aku akan senantiasa mengunjungimu dalam baris doa-doa ini," ucap seorang istri di tengah dekapan gelisah dan harapan.
                Semua masih berharap. Seperti semboyan Wira Ananta Rudira -setia sampai akhir-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun