Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih Senja Kala Usia di Kampung

13 September 2020   16:17 Diperbarui: 13 September 2020   16:18 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era industri 4.0 ini nyaris segala hal yang tersentuh teknologi selalu berpacu begitu pesatnya. Semua berlomba menjadi yang terdepan, jadi yang paling pertama, dan terus mengusahakan tetap hidupnya sebuah ikhtiar berlabel eksistensi.
               
Manusia itu lambat laun akan menua juga jika punya umur lebih, atau kalau tak dirundung malang yang berujung kematian. Di satu babak kehidupan manusia akan mulai melemah fisiknya. 

Produktivitas akan terkikis usia yang sudah menghabiskan puluhan lembar kalender. Tak bisa disangkal bahwa betapa pun cerdas seorang manusia, ia tetap tak akan bisa menghentikan tahun-tahun yang berganti.
         
Manusia bisa berkelahi dengan masalahnya sendiri. Tapi manusia tak bisa berkelahi dengan apa yang dikembangkannya. Kemajuan teknologi selalu punya tuntutan. 

Orang-orang tua dengan sendirinya akan terlempar dari sengitnya persaingan dunia modern. Hanya pikiran kritis dan nasihat-nasihat yang barangkali masih bisa dikerek tinggi-tinggi sebagai modal merawat sebuah eksistensi itu.
             
Kota-kota besar yang tak pernah redup selalu bersedia kapan pun menampung hal-hal baru dalam fesyen mode serta penemuan-penemuan teknologi mutakhir yang dikembangkan manusia. 

Dunia selalu menuntut kegesitan sebagai penyeimbang sebuah perubahan supaya tetap dinamis. Yang tua akan ditepikan. Sementara pengalamannya akan dipakai untuk memodali fresh graduate.
               
Selama ini kita tak menyadari bahwa tujuan sebenarnya kita sekolah bukanlah untuk menghadapi dunia kerja yang kian ketat. Atau untuk memasuki jenjang karier yang hierarki itu.
Kita sekolah dan memperoleh skill serta pengetahuan di universitas-universitas tak lain supaya bisa meneruskan estafet kepemimpinan.
       
Waktu ini sungguh begitu cepat. Lengah sedikit kita akan tertinggal. Waktu tak pernah punya belas kasih. Ia akan terus berjalan tanpa peduli mereka yang belum bersiap sama sekali.
               
Kita selalu punya banyak rencana, bukan? Apalagi di usia muda. Banyak rencana membentang di padang pikiran layaknya sebuah oase. Rencana memasuki dunia pendidikan. Rencana menghadapi kerasnya kerja. Rencana membangun rumah tangga. Dan lain-lain yang terpikir terus-menerus.
             
Mereka yang mencapai senja kala usia pun sama demikian. Di kepala mereka yang perlahan habis rambutnya, atau yang enggan tumbuh lagi, terpikir rencana-rencana pascapensiun. Bukan soal dunia kerja yang tak lagi bisa terus-terusan memberi posisi. 

Tapi kebanyakan justru didalangi niatan untuk beristirahat. Menutupi jendela depan rumah dan membuka jendela di belakang rumah lebar-lebar. Menatap lekat lautan luas dan langit kemuning yang dekat gelap. Mereka juga akan bersiap-siap sebagaimana bersiapnya kita yang muda ini.
                 
Orang bilang hidup ini pilihan. Entah bagaimana penjelasannya. Saya tak coba memikirkannya. Bahkan sampai hari ini. Saya bisa setuju-setuju saja. Tapi belum ada alasan bagi saya untuk mendebat ungkapan itu. Saya percaya ungkapan itu lahir dari orang yang pernah hidup dan menghadapi pilihan-pilihan.
             
Di usia kanak-kanak rasanya kita begitu jauh dengan pilihan-pilihan. Barulah ketika dewasa satu dua pilihan dalam hidup mulai menghadap untuk dipilih. Dan nyatanya mereka yang tua-tua itu juga dihadapkan pada pilihan yang tak sedikit. Bahkan sejak muda ada pilihan yang belum sempat diambil.
                 
"Di mana baiknya kita menghabiskan hari tua ini, Bu?" tanya pensiunan pegawai pada istrinya yang juga baru akan menyelesaikan masa tugasnya pada sebuah institusi.
         
"Kalau bicara baiknya mungkin di desa saja. Di kampung halaman. Itu tempat yang cukup baik beristirahat," jawab si ibu meyakinkan suaminya.
           
Percakapan kecil sore itu berakhir tanpa jawaban-jawaban. Hanya hening yang mengantar keduanya itu menghadapi gelapnya malam dalam rumah mereka di antara kota yang sibuk.
               
Selalu ada alasan bagi seseorang ketika mantap memutuskan hidup menghabiskan hari tua di kampung halaman. Ada definisi yang berbeda-beda perihal pilihan-pilihan itu. Dan bagaimana pun kampung halaman tak pernah menutup diri untuk ditinggali. Bukan saja hanya untuk menumpang menghabiskan sisa umur tapi juga memekarkan semua cinta yang sempat layu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun