Barangkali kita perlu kembali melihat kalender bergambar tokoh politik di dinding rumah.
Sekadar mengeja tanggal-tanggal yang berganti.
Menandai hari yang baik, menandai tanggal manis, juga biarkan tanggal yang ada lukanya begitu saja.
Biarkan ingatan yang memberinya lingkaran merah.
      Â
Barangkali kita perlu duduk kembali di jendela rumah kala mendung mengerek tinggi-tinggi awan hitam di jantung langit.
Sekadar melihat sengitnya hujan yang turun membasahi tanaman hias yang memang jarang kita mandikan.
Lalu menghitung butir-butir terakhir menjelang reda agar kita tahu bahwa yang ada awalnya tiada; yang besar akan mengecil pula; kecuali Tuhan.
     Â
Barangkali kita perlu mengikat kaki-kaki ini di antara putih pasir pantai di ujung pulau sana kala sore.
Sekadar menikmati suasana; lembayung langit, sinar harapan di bibir perahu nelayan, geliat pohon nyiur, sampai bayu kudus yang menyingkap rambut.
Supaya kita tahu betapa kota-kota dan kebisingannya itu bukanlah tempat yang damai.
     Â
Barangkali kita pun perlu berlari-lari kecil di pagi hari mengelilingi kebun kopi milik petani.
Bukan sekadar merawat jantung yang kian lelah atau menjaga kenormalan alur dan aliran darah.
Melainkan untuk menyadari bahwa tak selamanya kita harus cepat.
Bahwa kenikmatan itu jalannya selalu pelan. Seperti lari-lari kecil tadi.
        Â
Barangkali kita perlu kembali melihat lautan di belakang rumah yang masih tetap berair asin. Melihat berjajar kapal dan perahu. Mencium aroma kehidupan yang tak biasa.
Bahwa ikan dan kehidupan samudera benar-benar bergantung pada yang asin.
Bahwa kita tak perlu memaksakan hidup di antara yang manis-manis.
      Â
     Â
Di ujung bulan Juli, Pulau Ambon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H