Di dalam bulat matamu tak mengapa jika aku hanyalah kotak-kotak yang kecil
Di warna matamu yang putih tak apa jika aku cuma hitam yang gersang
Di garis bibirmu yang pecah aku pun mungkin tak lebih baik dari warna gincumu
Di lentik bulu matamu barangkali aku pun lebih singkat dari sebuah kedipan
Dan di jari manismu aku mungkin lebih tak menyenangkan dari karat sebuah cincin
Atau di jilbabmu aku hanyalah benang kusut yang memaksamu segera mencari gunting
    Â
Begitulah sudah aku padamu
Betapa pun dekatnya tetaplah aku bukan siapa-siapamu
Juga kau padaku
Segilanya aku karenamu kau juga tetap bukan siapa-siapaku
       Â
Jalan waktu yang kita tempuh sama-sama selalu berakhir dengan pertanyaan
Tentang siapa kita sebenarnya
Ada apa dengan kita
Apa ihwal yang kita sembunyikan di balik jemari masing-masing
      Â
Kita adalah kita
Kita adalah kebersamaan aku dan dirimu
Kita adalah cerita berbeda pada dua halaman kertas di buku yang sama
Kau dan aku adalah frasa berlainan yang kebetulan bertemu lalu jadi kalimat
Kita adalah sepasang kekasih yang dinikahkan oleh waktu lalu melahirkan anak-anak kenangan
        Â
Aku menulis ini dengan bantuan fotomu dan pisau-pisau ingatan yang sungguh menikam
Aku bisa mengalirkan kata demi kata di sini karena kepingan peristiwa yang ada kita di sana
Tentang jajan durian di pantai Losari
Duduk bercerita sampai malam larut di dermaga
Nonton film cinta di bioskop
Bergantian saling menggonceng di motor pada malam yang Jumat
Atau juga perihal bulan Agustus yang sungguh ajaib
     Â
Di sebuah sore kau pergi dariku
Aku tahu kau membawa serta kenangan-kenangan
Tapi kau mungkin tak tahu betapa aku susah payah menyurutkan genangan rinduku sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H