Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bulan Ramadhan, Kampung Halaman, dan Rumah Kenangan

26 Mei 2019   14:47 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:51 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari farm3.static.flickr.com

Sudah agak lama juga saya tidak merasakan indahnya bulan Ramadhan di kampung halaman. Sudah lama juga saya tidak menciumi wangi sajadah di masjid ketika bertarawih. Atau sekadar merasakan lelapnya tertidur di tengah-tengah suara tadarusan di masjid seperti diselimuti. Ramadhan kali ini sudah melebihi separuh bulan, dan kesempatan untuk merasakan berpuasa di kampung juga terlewat. Kalau dibilang sedih rasanya tidak juga, tapi rindu sudah pasti. Toh orang berakal mana yang tidak rindu kampung halamannya jika sudah lama dibuai sengitnya merantau.
                   
Ramadhan di kampung halaman selalu punya cerita yang menarik dikenang-kenang. Boleh dibilang hidup di kampung itu penuh dengan aktivitas monoton. Apalagi ketika tiba bulan Ramadhan. Tapi ada banyak sisi keindahan dan kesenangan jika sudah tiba bulan Ramadhan. Saya mengenang masa kecil ketika masih anak ingusan yang suka pergi ke laut maupun hutan. Semua dijalani dengan bahagia. Puasa penuh ceria, berbuka dengan tawa lepas serta bangun sahur dalam keadaan setengah hati dan manut-manut.
         
Semua orang di kampung selalu bergembira menyambut bulan Ramadhan. Saya memerhatikan semua. Ada beberapa orang ibu yang mengeluhkan akan banyak pengeluaran menjelang hari raya, ada lagi yang mengeluhkan sakit yang belum pulih sehingga khawatir tak akan bisa menjalani puasa dengan penuh, ada lagi malah yang dengan wajah sedih menceritakan perihal suami dan anak yang berhalangan pulang kampung. Lalu akan ada ibu-ibu lain yang datang memberi tawa dan yakin hingga semua berubah menjadi ceria lagi.
             
Di kampung saya, atau bahkan di banyak tempat di Indonesia ini, puasa selalu punya tradisi yang hampir sama. Barangkali dikarenakan ada di satu garis kultur sehingga di satu daerah dan daerah lain bulan puasa selalu punya ciri seiras.
         
Saya masih ingat, setiap kali tiba bulan Ramadhan maka akan ada banyak libur di sekolah. Sebagai anak yang malas belajar, takut pada bapak guru, serta alergi dengan kegiatan belajar di kelas, saya selalu menyambut bulan Ramadhan dengan bahagia. Bukan apa-apa, selain karena tidak perlu ke sekolah untuk beberapa hari saya juga bisa mengisi hari dengan kegiatan ala anak kampung seperti menjerat ayam hutan sampai memancing macam-macam ikan di laut terdekat.
Cerita-cerita ini selalu saya simpan rapi sampai beronggok-onggok di dalam lemari tua bernama ingatan. Saya akan sesekali membukanya, lalu tertawa sendiri melihatnya.
           
Hidup di kampung dan lalu menjalani Ramadhan yang apa adanya selalu membuat diri bahagia luar biasa. Ada kesenangan yang tak akan pernah bisa dibeli di sana. Bahkan dengan uang segepok pun. Kalau juga coba menggeledahi lapak masa lalu di pasar kenangan maka tetap saja itu semua tak bisa dibeli. Ia telanjur menjadi bagian dari cerita hidup yang menggelantung.
       
Saya hafal persis setiap bulan Ramadhan selalu ada kegiatan jerat ayam hutan di beberapa lokasi. Jangan kita ini aktivitas enteng. Sudah habis orang-orang melaksanakan subuh saya beserta beberapa teman langsung menyusuri jalanan di ujung kampung, menyisir lokasi-lokasi yang disinyalir kuat sebagai tempat tinggal banyak ayam. Kami lalu memasuki hutan masih dengan diri yang segar. Sampai berjam-jam kami lalu pulang. Dan masih puasa tentu saja.
             
Hari ini pertama biasanya baru untuk memasang jerat. Barulah nanti di hari kedua kami akan mengeceknya, apakah ada hasil atau tidak. Di hari-hari setelahnya inilah biasanya peristiwa sengaja membatalkan puasa terjadi. Dan dengan sembunyi-sembunyi tentu saja.

Di kampung ada banyak sumber mata air yang menjadi tumpuan warga. Ada beberapa sumber mata air yang berada di ujung kampung. Di tempat-tempat macam inilah kami akan dengan sengaja membatalkan puasa. Bermula dari pura-pura membasuh wajah yang berkeringat akibat letih sepulang dari hutan, kami biasanya langsung sekalian minum air segar itu. Begitu seterusnya jika sedang pergi ke hutan mengecek jerat yang kami pasang.

Di rumah masing-masing kami akan pura-pura lagi tetap berpuasa supaya bisa ikut dibelikan makanan takjil yang beraneka rasa itu, sebut saja es pisang ijo, aneka kolak, sampai es kelapa muda. Malam kami akan ke masjid ikut salat isya dan setelah itu bermain-main sepanjang yang lainnya sementara tarawih.

                                      * * * * *
Itu adalah cerita lama yang terus terkenang setiap bulan Ramadhan tiba. Anak ingusan itu kini dewasa juga. Merasakan merantau juga. Banyak teman-teman yang setelah itu memilih merantau mengejar ilmu di bangku-bangku pendidikan. Saya malah entah ke mana. Kerja segala macam pekerjaan, dan bermimpi menjadi orang kaya.

"Hahahahaaee."
     
Saya membayangkan kelak teman-teman masa kecil akan pulang kampung membawa ilmu pengetahuan sementara saya pulang tak membawa apa-apa selain pahitnya cerita-cerita perantauan.
         
     
Ambon, hari ini juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun