Mohon tunggu...
Oppu Gurupoda
Oppu Gurupoda Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pengajar

Berhamba pada Kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Demi Kebenaran Hukum, Bebaskan Florence Sihombing!

2 September 2014   00:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:53 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang mendadak terkenal di negeri ini gara-gara media sosial. Umumnya mereka bernasib baik, sebut saja misalnya Briptu Norman Kamaru yang sekonyong-konyong menjadi buah bibir nasional gara-gara video tarian duduknya di Youtube. Tapi tak sedikit yang bernaib naas, yang terbaru tentu saja Florence Sihombing. Florence mendadak terkenal gara-gara caci makinya terhadap Yogyakarta di Twitter. Setelah beberapa saat dijuluki “orang paling dicari di Yogya”, sekarang keberadaannya sudah jelas: tahanan polisi.

Saat ini, semua orang sepertinya sependapat bahwa Florence bersalah dan sudah seharusnya dihukum. Mungkin kebanyakan orang saat ini menganggap penahanan Polda DI Yogyakarta sudah tepat.

Tetapi sekarang, semuanya harus diperhatikan dan diperhitungkan kembali. Berhakkah polisi menangkap Florence? Benarkah Folrence melanggar hukum? Kita sedang mempertaruhkan hak kebebasan kita untuk berbicara. Dan anda tahu, isi pembicaraan tidak selalu enak didengar telinga. Mari kita lihat, apakah tindakan polisi ini tindakan hukum yang benar atau justru tindakan represif terhadap demokrasi dan kebebasan manusia?

Sesuatu sedang kita pertaruhkan dalam kasus ini. Akhir kisah dari kasus Florence Sihombing ini nantinya akan menyibak sedalam apa gerangan cara berpikir bangsa Indonesia, mengenai dirinya dan mengenai orang lain. Karena kasus ini telanjur terbuka luas, poin ini dapat menjadi publikasi bagi masyarakat internasional untuk menyimpulkan apakah kita termasuk bangsa yang berpikir besar dan dewasa ataukah bangsa yang kerdil, sakit, minder dan menyukai represi kekuasaan (otoritarianisme).

Pertama, tentu kita yakin bahwa pihak polisi telah memakai UU ITE khususnya tentu pasal 27 ayat (3) mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik yang sangat abstrak itu, sebagai alas kewenangan mereka untuk melakukan penangkapan dan penahanan pada seorang warga negara bernama Florence Sihombing.

Jika kita membaca kicauan-kicauan Florence Sihombing di akun Twitter-nya tentang Yogya yang menyebabkan penangkapan itu terjadi, kita jelas tidak bersimpati kepadanya. Wanita muda ini terlihat seperti sangat muak pada kota itu, dan tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa hormat, tanpa rasa cinta sama sekali, melontarkan begitu saja caci maki kepada kota yang sangat terkenal tersebut. Florence terlihat seperti seorang yang arogan atau malah seperti sedang ‘bermasalah’ secara emosional.

Tetapi sejak polisi mengambil langkahnya, ini bukan lagi soal apakah Florence orang yang baik atau tidak, arogan atau tidak, melainkan soal benarkah Florence telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukum? Bolehkah sumpah serapahnya terhadap Kota Yogyakarta boleh mengantarkannya ke penjara? Mari kita mulai memeriksa perkara ini.

Dalam pemeriksaan ini, Florence berdiri sebagai pihak pelaku penghinaan. Tulisan-tulisannya di Twitter adalah alat bukti yang cukup. Siapa pihak yang dihina? Sebuah kota, namanya Yogyakarta.

Sekarang kita masuk kepada hukum itu sendiri. Siapa yang nama baiknya dilindungi oleh hukum, sehingga kalau ia dihina, maka pelakunya dapat ditangkap? Jawabannya: subjek hukum. Siapa subjek hukum? Jawabannya: person, atau sebuah organisasi berbadan hukum. Hanya kedua subyek inilah yang dapat disebut memiliki nama dan nama baik, dan akibatnya, keduanya dapat mengambil langkah hukum ketika nama baiknya itu dicemari.

Memang ada beberapa objek khusus, dimana penghinaan terhadapnya dapat dikenakan pidana, diantaranya agama yang diakui negara, kepala negara, serta lambang-lambang negara. Tetapi bagaimana dengan sebuah tempat? Sebuah pekarangan? Sebuah kampung? Sebuah kawasan? Sebuah kota? Sebuah pulau? Sebuah negeri? Sebuah benua? Sebuah planet? Dapatkah orang dihukum karena mencaci-maki benda-benda itu? Apakah benda-benda yang kita sebutkan itu sebuah subjek hukum juga?

Jelas tidak. Sebuah kota, atau sebuah wilayah atau sebuah kawasan atau bahkan sebuah pulau, dan seterusnya bukanlah sebuah subyek hukum. Jadi caci-maki terhadapnya tidak bisa dipidana. Manusia boleh mencaci maki sebuah kawasan yang tidak disukainya, yang tidak baik menurut penilaiannya, dan ia bebas dari jerat hukum formal.

Maksud saya, anda bebas memaki-maki pulau yang anda anggap menjijikkan. Saya bebas memaki-maki kota manapun di muka bumi ini yang saya anggap tidak bernilai bagi saya. Kita bebas memaki-maki sebuah gunung, sebuah danau, sebuah samudera, sebuah sungai, sebuah kampung, atau tempat apapun yang dihuni manusia atau tidak dihuni manusia dan kita tidak boleh dihukum gara-gara itu.

Apa yang dilakukan Florence sama saja dengan seseorang yang memaki sebuah tempat, misalnya: “Kampung anu kampung terkutuk! Gunung Anu sialan! Danau Anu ini membosankan! Kota Anu ini kota kampret! Kota menjijikkan! Ini pulau memalukan! Ini negeri terkutuk! Ini benua biadap! Ini planet terkutuk!”

Tentu caci maki sedemikian tidak sedap terdengar, tidak lembut, tidak mencerminkan pribadi yang santun. Secara pribadi, saya tidak suka dengan pernyataan-pernyataan Florence tentang Yogyakarta, sebab saya sangat menyukai kota itu dan menganggapnya salah satu kota terbaik di negeri ini. Tetapi orang tidak dapat dipidana karena semua itu, atau karena karakter pribadinya. Jika Florence ditangkap dan dipidana, tidakkah semua orang yang pernah memaki sebuah tempat di negeri ini, entah itu taman, gedung, waduk, gunung, sungai, desa, dan sebagainya harus ditangkap pula karena telah berbuat kejahatan?

Saya teringat pada kasus Luna Maya beberapa tahun silam yang menyerapahi infotainment. Ia tidak dapat dihukum karena memang ia tidak menghina seseorang person atau badan hukum, melainkan sebuah profesi: sebuah benda lainnya. Profesi, tempat, hobbi, program, produk, dan lain sebagainya adalah benda atau objek. Anda boleh menyukainya boleh juga tidak menyukainya. Ketika anda suka atau tidak suka, anda boleh ekspresikan dengn cara apapun juga, entah lewat puja-puji entah lewat caci maki. Soal cara anda mengekspresikan rasa tidak suka anda, misalnya anda menyebut musik dangdut -sebuah benda- itu musik terkutuk atau apa, itu mungkin akan menimbulkan kemarahan bagi mereka yang suka, tetapi itu semua hanyalah persoalan perbedaan karakter, perbedaan rasa kesantuan, dan perbedaan pendapat. Jadi, mari menentang pendapat Florence Sihombing jika kita tidak setuju atau tidak suka pada pernyataannya itu. Tapi salah satu pihak tidak boleh ditangkap atas nama hukum formal karenanya.

Dengan demikian, ternyata Florence Sihombing tidak melakukan kejahatan apapun terhadap satupun subyek hukum. Ia berhak memaki apa saja yang bukan subyek hukum, entah kampungnya sendiri entah kampung orang, entah pulaunya sendiri entah pulau orang, terlepas dari kita suka atau tidak pada pendapatnya. Saya berhak memaki Yogyakarta, Jakarta, Batam, Bandung, Medan, demikian pula anda semua. Kita berhak melakukannya bukan hanya melalui akun pribadi di Twitter atau Facebook, bahkan dari atas menara pakai speaker besar pun kita berhak melakukannya. Tidak ada pelanggaran hukum disana. Tidak ada pencemaran nama baik terhadap seseorang atau badan hukum disana. Yang ada ialah perasaan tidak suka dari para pendengar yang kebetulan mencintai tempat yang kita caci-maki. Tapi, perasaan tidak suka dari para penggemar sebuah tempat, tidak bisa menjadi dasar bagi polisi untuk melakukan penangkapan. Ada orang memaki Tugu Monas sebagai tugu kampungan yang memalukan, dan jika anda justru menganggapnya sebagai tugu tercantik di alam semesta, anda tidak berhak mengadukan orang itu ke polisi. Jika itu anda lakukan, anda penganut fasisme dan otoritarianistik. Dan tentu saja, polisi sangat konyol jika melayani keegosian anda.

Karena itu, bebaskan Florence Sihombing sekarang juga, demi kebenaran hukum, demi kebebasan berpendapat dan demokrasi yang sedang bertumbuh di negeri ini. Penangkapan terhadap Florence adalah sebuah tindakan tak berdasar, praktek otoritarianisme. Sekarang Florence yang kena, mungkin besok kami semua yang ada di sosial media. Sebagai orang yang berkepentingan dengan jaminan kebebasan berpendapat di negara ini, kami semua terganggu dengan tindakan polisi ini. Polisi berhentilah bertindak represif dengan menangkapi orang sembarangan tanpa pertimbangan hukum sama sekali. Evaluasi Kapolda DI Yogayakarta yang tidak rasional. Ini penangkapan yang memalukan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun