Engeline bocah 8 tahun yang bernasib tragis beberapa hari yang lalu masih tergiang dan semakin miris ketika mendengar pengakuan baru dari para saksi. Beberapa waktu lalu seorang saksi menuturkan berbagai macam penderitaan bocah kecil tersebut, dari mulai dipukul dengan bilah bambu hingga pecah, makan makanan yang seharusnya untuk anjing, serta diperkerjakan untuk memberi makan ratusan ayam dan membersihkan kotoran ayam. Untuk anak seusia 8 tahun dipekerjakan tentulah bertentangan dengan UU perlinndungan anak.
Siapa yang terlibat penghilangan nyawa tersebut masih belum terlihat jelas, semuanya biar penegak hukum yang mencari kebenaran. Kecenderungan kita memvonis seseorang bersalah karena berita media, kecenderungan semacam ini salah, namun juga demikian jangan pula menganggap seseorang tidak bersalah hanya karena sewa pengacara kondang.
Tulisan oplosan saya tidak akan membahas perihal hukum yang notabene urusan yang berwenang dibidangnya, namun marilah kita tengok kenapa nasib tragis yang dialami Engeline bisa terjadi ?. nasib bocah seperti Engeline dinegeri ini saya yakin amatlah banyak dengan pola penderitaan yang berbeda.
Ada beberapa pernyataan yang cukup menggugah hati dalam kasus Engeline ini seperti, Gurunya tahu Angelin suka datang telat dan bau kotoran Ayam, Gurunya Tahu dia pernah minta makan sama gurunya sampe nambah 2 kali, Tetangganya sering denger Angelin teriak teriak kesakitan, Tetangganya tahu Angelin suka jalan kaki 3 - 4 KM ke sekolah, Tetangganya pernah melihat Engeline di pukul pake gayung ampe teriak kesakitan tuh anak.
Sebuah pertanyaan kenapa diam ?
Mungkin ada yang jawab takut mencampuri urusan rumah tangga orang dan lain-lain. Kalau kita ketengok kebelakang bagaimana budaya negeri ini amatlah teloran, gotong royong dengan tetangga dalam berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Budaya semacam ini masih dapat kita lihat diperkampungan desa pelosok. Berbagi makanan, saling membantu yang saat ini mulai pudar akibat dampak globalisasi.
Benar sebuah ungkapan “Saat ini semakin dekat, namun semakin jauh pula”. Rumah mulai rapat dan berdekatan antara tetangga namun kepedulian semakin jauh. Rumah-rumah berpagar besi seolah penjara padahal pagar terbaik untuk keamanan adalah tetangga.
Hilangnya rasa peduli inilah penyebab utama nasib tragis Engeline, nasib tragis Engeline karena ketidakpedulian kita.
Dalam bulan puasa ini kasus Engeline dapat dijadikan renungan untuk memupuk rasa kepedulian kita pada sesama. Semoga pasca ramadlan anak-anak yang senasib dengan Engeline tidak sampai mengalami nasib tragis sepertinya karena ketidakpedulian kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H