Seperti yang diketahui hasil quick count pemilihan legislatif (Pileg) tahun 2019 menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ada 30,05 persen pemilih yang golongan putih (golput), sementara golput pilpres sebanyak 19,27 persen, 19 persen bukan angka yang sedikit. Fenomena golput senantiasa ada dalam sistem demokrasi dinegara manapun wujud hak politik untuk tidak menggunakan haknya.
Ada beberapa sebab golput, mungkin prinsip idiologi, mungkin rasa kecewa, mungkin tidak ada caleg dan capres yang kurang dihati mereka. Sayangnya belum ada survey dilingkungan mana, tingkat pendidikan apa para golputer berada. Kalau ada survey golputer maka akan dapat ditemukan penyebab golput kalau dikarenakan kendala teknis maka tugas KPU untuk memperbaikinya, kalau dikarenakan kecewa maka tugas partai memperbaiki kadernya.
Fenomena pertemuan Mahfudz MD dengan Komisi III beberapa waktu lalu membahas transaksi mencurigakan 360 T dapat dilihat kualitas anggota legislatif dan mana yang benar-benar menyuarakan hati nurani rakyat atau demi perut mereka sendiri. Dengan perilaku riil semacam itu maka pemilihan proposional terbuka akan memberi keterbukaan rakyat agar caleg yang tidak berkualitas terdepak dari senayan, bukan lagi memilih kuring dalam tong.
Tiga calon presiden 2024 mengerucut pada tiga nama yaitu Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Perang survey pun marak mengukur elektabilitas para capres, saya katakan perang survey sebab sulit sekali untuk mempercayai lembaga survey 100 persen murni independent, sebab mereka butuh biaya operasional dan orang-orang didalamnya juga butuh sesuap nasi. Kalau jeli lembaga survey dengan hasil survey peringkat 1,2,3,4 dan seterusnya adalah bentuk kampanye yang luput dari kejelian banwaslu. Pake logika simple sebuah warung jika kalau didatangi banyak orang maka dianggap warung itu enak dan kerumunan orang akan membuat daya tarik orang lain untuk datang kewarung tersebut, sama halnya dengan survey capres hasil survet terbanyak akan membuat daya tarik pemilih untuk memilih, hal ini yang luput dari pengamatan pengawas pemilu.
Kembali ke golput 19 persen tahun 2019 khusus capres karena mereka tidak tertarik dengan sajian capres Jokowi-KH. Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandi. Angka 19 persen ini merupakan lahan capres Anies, Prabowo, Ganjar untuk menarik simpati mereka, sayangnya 19 persen ini pada tahunn 2019 tidak suka Prabowo dan Ganjar ( Implementasi Jokowi) , hanya Anies capres wajah baru. Akankah 19 persen golput pilpres tahun 2019 akan mengalihkan dukungan ke Anies ? belum tentu juga sebab mereka para golputer pilpres juga golput pileg dimana partai pengusung ketiga capres 2024 tidak membuat mereka tertarik.
Tiga capres unggulan 2024 mempunyai background yang unik dan berbeda-beda walau Anies dan Ganjar sama-sama alumni UGM, Anies ada background HMI, Prabowo background TNI, Ganjar background GMNI. Dan tentu saja organisasi background mereka beserta jaringannya akan memperjuangkan kemenangan kadernya.
Golput di Indonesia mungkin berbeda dengan golput dinegara maju sebab proses demokrasi dinegara maju sudah berjalan lama dan cenderung para golputer dari kalangan berpendidikan. Di Indonesia beda sebab proses demokrasi masih seumur jagung, indikasi kecewa, teknis dan alasan uang jadi pemicu utama. Ini dapat dilihat dari proses demokrasi pilkades (pemilihan kepala desa) warga akan datang ke balaidesa ikut memilih jika ada uang pengganti kerja dihari itu.
Tanpa disadari golput perilaku yang merugikan para golputer itu sendiri sebab suara mereka dapat dimanfaatkan oknum tertentu melakukan kecurangan demi memenangkan konstelasi politik. Sebagai warga negara Indonesia yang baik tentu berfikir jernih agar tidak dimanfaatkan maka akan gunakan hak politik sebagai bentuk demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H