Ada yang menarik untuk dikupas tentang sosok pejuang wanita yang diperingati hari ini yaitu R.A Kartini. Dari nama sosok wanita ini bukanlah seorang dari kalangan rakyat jelata akan tetapi seorang Pibumi Ningrat atau sebutan Darah Biru ini terlihat gelar Raden Ajeng. Sebagaimana kutipan singkat biografi beliau :
Kartini adalah putri tertua keturunan keluarga ningrat Jawa atau istilahnya keluarga priyayi atau bangsawan. Ayahnya merupakan Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Sosriningrat. Sementara itu Ibu bernama M.A. Ngasirah yaitu putri anak dari seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Kartini punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan karena ingin mendapatkan hak yang sederajat dengan pria dalam hal pendidikan. Tapi keinginan untuk sekolah lebih tinggi harus terkubur, karena Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 1903. [Sumber : Kompas.com]
Dari kutipan singkat tersebut dapat diurai tiga hal pokok tentang sosok R.A Kartini seorang Priyayi, seorang Jurnalis dan perjuangannya melawan kearifan lokal.
Karena Kartini seorang putri bangsawan sehingga pada masa kolonial ada prioritas bagi kalangan bangsawan, tak heran kalau Katini bisa berbahasa Belanda, dan teman-teman korespodensinya berasal dari Belanda juga.
Habis Gelap Terbitlah Terang adalah kumpulan surat-surat Kartini yang sempat terpublikasi pada media surat kabar di Belanda. Karya-karya tulis yang memperjuangkan kaum perempuan Pribumi dan keluh kesah dirinya adalah wujud beliau seorang jurnalis.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Gugatan Kartini terhadap budaya Jawa yang merupakan kearifan lokal karena pengaruh pergaulannya dengan wanita Belanda yang lebih maju.
Kartini seorang priyayi yang peduli akan nasib perempuan pribumi dari kalangan rakyat jelata untuk memperoleh pendidikan yang pada masa kolonial pendidikan untuk kaum perempuan hanya dinikmati kaum bangsawan Kartini salah satunya. Perjuangan Kartini bukan secara fisik dengan adu otot atau juga dengan menentang orang disekitarnya akan tetapi melaui tulisan-tulisan surat-surat yang dikirimkan ke teman-temannya di Belanda.
Disisi lain Kartini berusaha merubah budaya Jawa yang merupakan keariban lokal dalam hal perempuan akan tetapi beliau juga tetap memegang kerafan lokal tetap menjadi seorang istri Jawa yang menyebabkan hilangnya pendidikan dirinya di Belanda.
Ada tiga hal yang dapat diambil dari kisah Kartini ini pejuang wanita Indonesia, yaitu;