" Panggil saja aku Nor, aku tinggal disebuah desa, didepan rumahku terbentang luas lahan sawah tempat ayah ibuku bercocok tanam. Sejak kecil hingga SMA aku selalu membantu kedua orangtuaku kesawah, karena dari hasil panen itu untuk biaya sekolahku. Saat ini aku kuliah disebuah Universitas semester akhir, sejak kuliah aku tak lagi dapat membantu kedua orangtuaku kesawah sebab aku pulang sebulan sekali dari kos, saat liburan ini aku bersama ibu pergi kesawah memanen mentimun, betapa kagetnya karena lama tak pergi kesawah, akan tetapi demi masa depanku aku tetap kesawah tak takut kulit kusam dan hitam karena terik matahari demi membantu kedua orangtuaku tercinta..."
Sepenggal cerita dari gadis desa yang sejak kecil hingga masa kuliah dibiayai kedua orangtuanya yang bermatapencaharian sebagai petani. Ditengah pesatnya industrialisasi serta budaya global yang kian merata, jarang sekali kita jumpai anak-anak muda pergi kesawah dikarenakan takut hitam dan kusam. Sebuah anomali dinegeri Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris.
Regenerasi petani akan terputus jika tak ada solusi serius dari berbagai pihak yang berdampak pada usaha swasembada pangan yang dicanangkan. Negeri yang dulunya sebagai produsen pangan akan berubah menjadi konsumen pangan diatas sebuah negara yang gemah ripah loh jinawi, subur tanahnya.
Keengganan kalangan muda untuk terjun sebagai petani disebabkan banyak alasan, salah satunya hasil dari pertanian yang tak menentu, sehingga mereka cenderung untuk memilih bekerja sebagai buruh Industri dengan gaji UMR yang menjanjikan buat mereka. Akibatnya petani-petani yang sering kita jumpai berusia tua, usia dari pensiun sebagai karywan negeri atau swasta terjun menjadi petani sehingga petani tersebut kurang produktif dikarenakan daya produktifitas mereka berkurang karena usia.
Disisi lain banyak lulusan universitas jurusan pertanian, perikanan dan lain-lain cenderung merebut jabatan diintansi terkait untuk duduk sebagai pegawai. Ilmu pertanian, perikanan yang mereka dalami selama bertahun-tahun tidak diterapkan, diajarkan memegang cangkul mereka memilih memegang pena.
Sulitnya swasembada pangan dikarenakan orang-orang yang dididik ahli dibidang pangan enggan terjun untuk mengamalkan ilmunya, karena ketakutan rugi dan lain sebagainya.
Kerugian petani memang tak dapat dipungkiri akibat beberapa sebab, mahalnya pupuk, mahalnya bibit, serangan hama dan akibat import.
Bagaimana agar petani betah pada profesinya ? tentu saja butuh sebuah tindakan agar petani tidak selalu rugi ada perlindungan bagi mereka dari dampak import yang hanya menguntungkan oknum pengimport. Ada program serius agar ada regenarasi petani yang mulai terkikis oleh modernisasi.
Jika hal tersebut tak dilakukan maka jangan harap sosok seperti Nor gadis desa yang rajin kesawah, akan ada dimasa-masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H