[[Angkot Bertoa di Bandara Sam Ratulangi, Manado]
Angkot adalah salah satu moda transportasi darat yang sangat dikenal di Indonesia. Keberadaannya sudah ada sejak jaman dahulu. Istilah angkot diambil dari kependakan kata "Angkutan Kota". Di setiap daerah, angkot selalu menghiasi keramaian kota dan desa. Menjadi sahabat alat transportasi umum masyarakat Indonesia.
Ini kisah kecil pengalaman penulis yang kebetulan berwisata di Sulawesi Utara, tepatnya di Kota Manado. Suatu ketika, penulis diajak jalan-jalan mengelilingi kota Manado untuk mencari makan siang, dalam perjalanan, penulis mendapati suara musik sangat keras, pikirnya itu adalah suara musik dari orang yang sedang hajatan (pesta pernikahan atau khitanan). Tapi herannya, tidak ada satupun keramaian orang-orang hajatan di kanan-kiri jalan yang penulis lihat. Penasaran, penulis mencoba mencari tahu datangnya suara tersebut. Ternyata dengan agak terkejut, penulis melihat sebuah kendaraan besar Truk menyetel musik dengan suara yang keras tersebut. Tidak hanya truk, angkot juga sesekali terlihat lewat juga menyetel musiknya dengan sangat keras.
Usut punya usut, ternyata memang sudah jadi sebuah tren angkot atau truk di Kota Manado masakini, dikala sedang berada di jalan menyetel musik dengan sangat keras laiknya musik di sebuah hajatan. Bukan subwoofer yang membuat suara keras itu muncul, tapi mesin toa yang dipasang di bagian bawah mobil.
Hasil obrolan dengan seorang sopir taksi bernama Jainudin yang kebetulan mengantarkan penulis ke Bandara Sam Ratulangi, Manado, bahwa memang mayoritas angkot di Manado bertoa. Hal ini supaya menarik minat penumpang, terutama penumpang remaja. Karena pasar penumpang di Manado kebanyakan dari anak-anak muda, menurut Jainudin, yang pernah pengalaman jadi supir angkot selama beberapa tahun sebelum nyopir taksi yang sekarang dia geluti baru 8 bulan. Bahkan dulu, ketika Jainudin masih nyopir angkot, untuk menarik perhatian dan mencari penumpang, dia memasang angkotnya dengan 7 mesin toa kecil dan 1 lagi yang besar, jadi 8 mesin toa terpasang. Bisa dipastikan seperti apa kerasnya musik yang dihasilkan ketika Jainudin memencet tombol "on" pada alat penghubung 8 toanya. Justru, inilah yang disukai anak muda, dari anak sekolah sampai mahasiswa. Jadi, tidak ada kesan malu-maluin jika datang ke Kampus mencari penumpang, terutama mahasiswa. Kenyataannya memang berhasil, di mana ada angkot bertoa, di situ penumpang anak muda menjadi penumpang setia.
Lalu bagaimana dengan para penumpang orang tua, ibu-ibu dan bapak-bapak. Terus, apakah suara keras itu tidak menganggu ketertiban umum karena suara bisingnya. Di samping itu, bahaya akan selalu mengancam calon penumpang yang kebetulan sakit gigi atau jantungan, jika angkot Manado berada di sekitar mereka. Mungkin pertanyaan demi pertanyan tersebut tak harus terjawab, alasannya di samping sebuah keunikan tidak harus dijelaskan secara detail sebab itu menjadi sebuah tren, juga jika terpaksa harus ada jawaban, maka in sya Allah jika penulis diberi kesempatan lagi berwisata ke Manado, akan mampu menjawab semua pertanyaan tersebut, dan tentu saja kalau ketemu lagi dengan mas Jainudin, Sang Supir Jawara Angkot Bertoa.
Tanpa terasa sudah tiba di Bandara. Penulis dan satu orang rekannya turun dari taksi yang disopiri Jainudin. Tarif taksi terpampang Rp. 125.000,-, penulis memberi uang kepada rekannya Rp. 65.000,- dan sisanya oleh rekan tersebut, karena memang "Torang" (bahasa Manado, artinya: kita) patungan membayar ongkos taksinya.
Si Jainudin langsung tancap gas meninggalkan Bandara. Kira-kira sudah 5 menit berselang, rekan penulis kaget dengan wajah yang getun. Dia merasa getun sekaligus sedih, oleh-oleh bernama Klapert Tart yang dibelinya di Toko Merciful, sebuah toko yang khusus menjual oleh-oleh Manado, tertinggal di Taksi Jainudin karena lupa. Beruntung bagi penulis, barang dan oleh-oleh miliknya aman bersamanya, bahkan sempat penulis menghapalkan plat nomor taksi tersebut, untuk jaga-jaga jika ada barang berharga tertinggal. Penulis menawarkan kepada rekannya untuk menghubungi agensi taksi si Jainudin, namun rekan menolaknya. Karena oleh-olehnya hanya berharga Rp. 80.000,-, pikirnya malah merepotkan. Kasihan sekali rekan penulis. Saat di Bandara, karena waktu jadwal terbang masih ada 2,5 jam lagi, sehingga menunggu di luar Bandara sambil duduk-duduk, tiba-tiba penulis menemukan sebuah angkot Manado. Tanpa pikir panjang langsung diabadikan dengan ponsel miliknya, sebagai pendukung citizen journalism. Dua gambar telah terpampang di atas.