Di Washington DC, seorang individu yang mengaku sebagai jurnalis mengejutkan publik dengan tindakannya yang ekstrem---membakar salah satu tangannya sebagai bentuk protes pada 7 Oktober 2024. Aksi ini bukan kecelakaan, melainkan pilihan sadar untuk menunjukkan penyesalan mendalam terhadap profesi jurnalistiknya. Ia mengaku tak tahan lagi dengan bias yang mendominasi liputan media mengenai Genosida Israel di Palestina, khususnya krisis Gaza. Media yang seharusnya menjadi sumber informasi objektif, menurutnya, malah menjadi corong propaganda yang menutupi kekejaman yang dilakukan Israel.
Aksi tersebut mencerminkan keresahan yang semakin meluas di kalangan jurnalis Barat. Beberapa wartawan telah mengundurkan diri dari media-media besar seperti The New York Times dan BBC, merasa bahwa liputan serangan Israel seringkali bias dan gagal menunjukkan penderitaan yang dialami warga Gaza. Kritik terhadap media ini juga datang dari organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, yang menyatakan bahwa pelaporan di media besar terkadang mengabaikan fakta kejahatan perang Israel yang diduga dilakukan di Gaza.
Sejak awal Badai Al-Aqsa para Pejuang Kemerdekaan Palestina (Hamas) pada 7 Oktober 2024, situasi di Gaza telah menjadi krisis kemanusiaan yang terus memburuk. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dirilis pada Oktober 2024, lebih dari 41.000 orang telah tewas akibat serangan udara dan operasi militer Israel. Dari jumlah itu, 6.000 adalah perempuan, dan 11.000 di antaranya adalah anak-anak. Sebagian besar infrastruktur Gaza juga telah hancur, dengan laporan dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) menunjukkan bahwa sekitar 80% bangunan di Gaza telah rata dengan tanah. Sementara itu, blokade Israel yang berkelanjutan telah menyebabkan suplai air, listrik, dan makanan terhenti, memperparah penderitaan penduduk.
Serangan Israel juga meluas ke Tepi Barat dan Lebanon. Serangan udara intensif di Lebanon Selatan telah menyebabkan peningkatan ketegangan, meskipun kelompok-kelompok seperti Hezbollah dan Hamas telah melakukan perlawanan. Konflik ini bahkan memicu keterlibatan internasional, dengan Iran melalui IRGC (Korps Garda Revolusi Iran) dan kelompok Houthi di Yaman ikut terlibat dalam upaya melawan dominasi Israel di wilayah tersebut.
Sementara itu, di seluruh dunia, aksi protes besar-besaran digelar untuk mendukung warga Palestina. Demonstrasi yang menuntut diakhirinya genosida dan pendudukan ilegal Israel terjadi di kota-kota besar seperti London, Paris, New York, dan Jakarta. Pada Oktober 2024, protes di London melibatkan lebih dari 200.000 orang, sementara di Paris, bentrokan antara demonstran pro-Palestina dan polisi pecah, mengakibatkan beberapa orang terluka.
Di antara para pendukung perjuangan Palestina, ada sosok seperti Aaron Bushnell, seorang mantan anggota Angkatan Udara Amerika Serikat. Pada 25 Februari 2024, Bushnell memilih untuk mengorbankan nyawanya sendiri dengan membakar diri dalam sebuah aksi protes di Washington DC. Sebelum aksinya, ia meneriakkan "Free Palestine" sebagai bentuk perlawanan terhadap kekejaman Genosida Israel yang dilihatnya di Gaza. Tindakannya menggemakan rasa frustrasi yang dirasakan oleh banyak orang di seluruh dunia terhadap kebijakan pemerintah dan ketidakadilan yang berlangsung di wilayah tersebut.
Krisis ini bukan sekadar soal kemenangan militer atau politik. Ini tentang rasa kemanusiaan dan peran kita dalam merespons penindasan yang nyata. Di saat dunia menyaksikan kekejaman yang dilakukan terhadap warga Gaza, apakah kita akan diam atau memilih untuk bersuara? Inilah saatnya bagi kita untuk mempertanyakan kembali di mana posisi kita dalam memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia.
---
Sumber:
1. Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Gaza.
2. Kementerian Kesehatan Gaza, data korban tewas, Oktober 2024.