Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Alhamdulillah, Hopefully I am better than yesterday

Seorang opinimaker pemula yang belajar mencurahkan isi hatinya. Semakin kamu banyak menulis, semakin giat kamu membaca dan semakin lebar jendela dunia yang kau buka. Never stop and keep swing.....^_^

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ajeng, Mahasiswi Muda Cantik yang Pandai Berwirausaha

19 Januari 2016   07:28 Diperbarui: 19 Januari 2016   07:50 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

["www.indonesiaberpikirpositif.com"]Momen saat panas teriknya matahari siang, lantas tidak menyurutkan spirit of citizen jurnaslism aku. Maju terus, pantang tuk gantung pena!.

Begini ceritanya...

“Wah panas banget ya suasananya, kayaknya enak nih beli es kelapa”, cetus ideku yang diucapkan kepada anak-istriku, sepulang dari pengajian. Meskipun mereka tak merespon ucapanku, namun aku tahu bahwa mereka juga senang, karena suasana panas bakal disegarkan oleh aliran es kelapa, salah satu es favortinya rakyat Indonesia. Termasuk aku dan keluarga, tak jarang jika sedang dalam bepergian di dalam kota, jika hawanya panas, langsung mampir ke tukang es kelapa.

Kuparkirkan mobilnya di pinggir jalan dekat penjual es kelapa. Lalu, tiba-tiba aku baru sadar kalau mobilku terparkir tidak jauh dari kantor imigrasi, tempat penjual es dawet berada. Langsung kutawarkan istriku tuk coba beli es dawet di sana.

“Bu (panggilan istriku di depan anak-anaku), yuk kita coba beli es dawet! kayaknya enak dan seger tuh,” rayuku. Padahal mobilku sudah diparkir di area tukang es kelapa. Tidak enak juga kalau tidak beli. “Terus gimana es kelapanya, kan gak enak sudah parkir di sini,” ujar istriku sesuai dengan yang ada dalam benakku. “Ya gapapa, es kelapanya buat anak-anak, kita beli es dawetnya. Ayah mau coba, sudah lama sekali gak minum es dawet,” ucapku sembari berjalan ke tukang es dawet.

Aku pesan langsung kepada abang penjual es kelapa sembari jalan menuju penjual es dawet yang hanya berjarak 5 meter sebelahnya. Sesampainya di lapak es dawet, langsung aku pesan. “Mau pesan rasa apa Pak?” tanya penjual. “Oh, ada rasa apa saja?” tanyaku kembali. “Ada oreo sama original aja?”, jawab penjual. “Oke deh, kita pesan rasa oreo dua!” pesanku.

[Istri dan Dua Putraku di Lapak Es Dawet Ajeng]

Antara ragu dan percaya diri terus berkecamuk dalam otak yang sedang menahan dahaga. Ragu ingin bertanya kepada penjual es dawet karena perasaan tidak enak dengan istriku sendiri. Sejak awal waktu kuajak tuk beli es dawet pun aku sudah setengah hati. Tapi, arwah penulisku tak terbendung walau harus memecah kejanggalan. Tak janggal bagaimana coba, aku minta ijin kepada istriku untuk mendatangi seorang penjual es dawet, wanita muda yang berkulit putih dan berambut pirang itu hanya karena kuingin ngobrol bersamanya. Wanita mana yang sudi mendengarnya! Tapi tidak bagi wanita-wanita para jurnalis warga. Di sinilah letak keberuntungan bagi seorang jurnalis amatiran, makhluk indah manapun ciptaanNya bisa kau dekati, dan ini yang kusebut percaya diri. Tentu saja alasan tepat yang dapat diterima oleh isrtiku adalah dalam rangka membuat tulisan bermanfaat yang bisa dilayangkan di Kompasiana. Istriku tahu benar, sebab setiap tulisan yang kulayangkan selalu mendapat uji kelaikan kali pertama olehnya.

Beberapa teguk es dawet pun perlahan kuminum. Dafa dan Azka, kedua putraku juga memesan apa yang dipesan oleh orangtuanya. Biasalah anak-anak, segala ingin dibeli. Tapi, kami tetap hanya pesan dua gelas es dawet rasa oreo karena dua gelas es kelapa pun sudah diantarkan oleh abang tukang es kelapa ke lapak es dawet. Kami semua mencoba es dawetnya. Bergantian dengan anak-anak. Es kelapanya juga saya minum.

Duduk di depan kami penjual es dawet, dan terlihat rambut pirangnya yang tergurai. Insting jurnalisku mencuri startku tuk menyapa terlebih dahulu.

“Sudah berapa lama teh, jualan di sini?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun