Jurus "Sakti" Palu Hakim
Alungsyah
Ini merupakan hari yang menegangkan untuk sebagian orang terutama untuk lembaga antirasuah KPK. Tapi tidak dengan pihak sang "winner" Budi Gunawan "BG". Mengapa demikian, karena tepatnya pada hari Senin tanggal 16 Februari 2015 sekitar pukul 09.30 Wib ketukan palu hakim Sarpin Rizaldi telah memasuki babak akhir. Akhir-akhir ini siapa yang tak kenal hakim tunggal praperadilan Sarpin Rizaldi, sang "predator" keadilan merupakan hakim "terbaik" versinya ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengambil alih tugas yang diminta oleh Budi Gunawan "BG". Sejak ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setidaknya hakim tersebut sudah menuai pro dan kontra dimata publik, mengingat track recort yang ia miliki sebagai hakim kurang oke dalam memutus kasus. Terutama dari laporan oleh LSM ke lembaga pengawas hakim (Komisis Yudisial) terkait aksi "gilanya" yang dianggap menyimpang. Kondisi demikian sekiranya berlanjut pada sidang awal dilakukan, yang mana sejatinya publik berharap banyak terhadap hakim yang bersangkutan, namun tak jarang publik juga dibuat gamang akan tindakan yang nantinya hakim Sarpin Rizaldi lakukan.
Berdasarkan selama proses persidangan praperdilan dilakukan, sejatinya terdapat ruang gerak yang sempit untuk menangkap jalannya persidangan, baik itu dari tahap awal maupun akhir menjelang putusan, karena pada prosesnya sidang dibuka dan terbuka untuk umum, terlebih Komisi Yudisial-pun tidak ketinggalan untuk menyaksikannya. Tapi yang paling krusial ialah pada tahap proses pembuktian dipersidangan. Dimana, rekapitulasi fakta-fakta yang terjadi tentu kedua belah pihak memiliki rasa optimisme yang tinggi, sebab semua mengatakan ini sesuai dengan ketentuan yang sesungguhnya. Tak heran jika dalam wawancaranaya menjelang putusan, baik itu pihak KPK maupun Budi Gunawan mengatakan "yakin akan ditolak dan/atau dikabulkan". Pada tahap ini pula publik terlena dan berharap banyak kepada hakim untuk menolak kasus yang terjadi, tak terkecuali sebaliknya, bahkan seolah Republik terbelah menjadi dua kubu, pro KPK dan pro Polri. Dengan rasa optimisme yang tinggi publik yakin dengan seyakin-yakinnya, bahwa secara ketentuan peraturan yang ada (KUHAP) hakim Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal akan menolak permintaan/permohonan Budi Gunawan dan kuasa hukum ajukan, tetapi tidak dengan faktanya dan semua mata tertuju pada dua sosok yaitu hakim Sarpin Rizaldi beserta palunya. Publik tak henti bertanya-tanya, ada apa ini?
Penafsiran atau Terobosan?
Dalam dunia hukum dikenal adanya penafsiran hukum dan terobosan hukum, penafsiran hukum merupakan menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya. Hukum harus ditegakkan ditengah-tengah masyarakat dan dalam upaya penegakkan hukum, hakim sebagai penegak hukum tentu akan dihadapkan pada pelbagai kaidah baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Berarti dalam menjalankan tugasnya hakim berpegang teguh kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum. Disisi lain hakim juga dalam memutuskan perkara berpegang teguh pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku dalam masyarakat secara gobenden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gobendenheid (keterikatan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi oleh pasal 20 AB yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasrkan undang-undang, sedangkan untuk pasal 22 AB mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap. Jika hakim menolak mengadili perkara tersebut, maka dapat dituntut.
Apabila dalam ketentuan undang-undangnya tidak ada, hakim dapat menciptakan hukum dengan konstruksi hukum (analogi), penghalusan hukum dan argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Oleh karena itu setidaknya terdapat beberapa penafsiran dalam hukum diantaranya ialah penafsiran gramatikal, penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran autentik, penafsiran ekstensif, penafsiran analogi, penafsiran restiktif, penafsiran a contrario dan penafsiran perbandingan. Bila dilakukan analisa hukum, dari beberapa penafsiran tersebut diatas hakim Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal praperadilan jelas tidak masuk dalam kategori penafsiran yang ada atas tindakan atau putusan yang telah ia perbuat. Akan tetapi dalam keteranganya hakim Sarpin Rizaldi mengatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka merupakan objek dari praperadilan. Ini merupakan pernyataan yang sulit untuk diterima atas kebenarannya, sebab secara tersurat maupun tersirat KUHAP tidak mengatur dan membenarkan akan hal itu (Lihat pasal 77-82 KUHAP).
Jika bukan merupakan penafsiran hukum, bagaimana dengan terobosan hukum? Apakah ini merupakan bagian darinya? Dengan putusan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan melalui palu saktinya, hakim Sarpin Rizaldi ternyata menimbulkan pro dan kontra ditengah para ahli hukum. Bagaimana tidak putusan yang seharunya tapi tidak dilandasi dengan kenyataannya. Dari hal tersebut juga saya rasa tidak sedikit yang mengatakan ini merupakan bagian dari terobosan hukum, akan tetapi untuk menganalisa itu semua tidaklah sedikit waktu dan teori yang digunakan. Ini memerlukan kejernihan dalam melihat kompleksitas yang terjadi. Sekalipun atas nama terobosan hukum, dirasa terobosan yang digunakan tetaplah rasional adanya dan tidak menyimpang dari ketentuan logika hukum yang semestinya. Atas dasar itu juga, disisi lain hakim haruslah independen tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Pertanyaan sederhana ialah sampai dimana ke-independen-an hakim Sarpin Rizaldi, apakah kata independen hanya tepat digunakan untuk pihak Budi Gunawan, karena telah memenangkan "pertarungan" atau bahkan sebaliknya untuk pihak KPK selaku pihak yang dikalahkan? Perlu diketahui Ke-independen-an seorang hakim bukanlah apa yang terlihat nyata untuk mengukurnya, namun apa yang tidak nyata haruslah dilihat dan dianlisa dari sisi-sisi lainnya baik itu kondisi, situasi, timing, individual, keluarga bahkan dari sisi yang memungkinkan lainnya.
Harus diperiksa
Dengan mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan, Publik dibuat tersentak untuk kesekian kalinya. Sebab secara ketentuan yang ada untuk menguji sah tidaknya suatu penetapan sebagai tersangka bukanlah objek praperadilan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sesungghunya telah memberikan batasan (limited) terkait dengan objek praperadilan, yang mana diantaranya ialah Pertama, sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan. Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a), ketiga¸ sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan atau penyitaan (pasal 82 ayat 1 huruf b jo pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan keempat, ialah permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan (pasal 77 huruf b KUHAP) (baca: menganalisa praperadilan Budi Gunawan). Dari batasan tersebut berarti Sarpin Rizaldi selaku hakim tunggal tidak adanya celah dengan alasan apapun untuk memasukan sah tidaknya penetapan tersangka sebagai bagian dari objek praperadilan. Namun, kondisi yang terjadi tidak ada yang menduga bahwa hakim Sarpin Rizaldi akan mengabulkan permohonan Budi Gunawan, kecuali ditentukan lain yaitu Budi Gunawan dan kuasa hukumnya. Ini bagian dari pemandangan yang anah tapi tidak dengan hasilnya.
Tindakan yang dilakukan oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi dinilai telah keluar dari relnya. Tak sedikit para ahli hukum yang meresponnya, bahkan lembaga peradilan tetinggi sekelas Mahkamah Agungpun ikut bersuara dibuatnya. Mengapa tidak, sebab idealnya praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan patutlah untuk ditolak, karena bukanlah bagian dari objek praperadilan sebagaimana ketentuan dalam KUHAP. Oleh karena itu hakim Sarpin Rizaldi haruslah diperiksa baik secara pribadi mapun secara putusan yang dikeluarkan. Penulis berpandangan Mahkamah Agung harus segera mengoreksi kembali putusan praperadilan Budi Gunawan yang menghilangkan status tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya putusan tersebut sekaligus membatalkan status tersangka Budi Gunawan atas kasus korupsi. Padahal sebagaimana dikatakan oleh mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan dalam hukum Indonesia, praperadilan tidak bisa membatalkan atau menghilangkan status tersangka, ini merupakan hal baru dan pertama terjadi di Indonesia (Republika.co.id 16/2). Disisi lain penulis berpandangan tindakan yang dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi merupakan tindakan yang aneh, seolah ia mengalami tekanan dan ancaman yang begitu dasyat tidak hanya untuk dirinya, tapi melibatkan keluarganya. Walaupun dalam beberapa kesempatan beliau mengatakan tidak pernah diteror dan mendapatkan ancaman sebagaimana yang dialami oleh pihak KPK dan Polri dan dalam keterangannya juga, bahwa ia tidak perlu dijaga, tuhanlah yang menjaganya.