Mohon tunggu...
Agung Anugerah
Agung Anugerah Mohon Tunggu... Dokter - Warga Masyarakat

Tentang kesehatan dan fenomena dibaliknya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penyakit Hansen

17 Agustus 2021   20:20 Diperbarui: 17 Agustus 2021   20:29 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memandangi polaroid itu sambil tersenyum. Saat itu usiaku 18 tahun, bermain bersama teman-temanku di tepi pantai. Aku tersungkur mencoba menangkis bola yang di smash ke lapanganku, tapi gagal. Aku memang tidak pandai-pandai amat bermain voli, kalah pun sudah membuatku senang sepanjang aku bisa bermain bersama teman-temanku, pikirku saat ini. Tapi aku bukan yang dulu lagi. Orang-orang menyebutnya karena lepra atau kusta. Aku masih merasa sebutan lamanya lebih relevan, ini penyakit kutukan.

Banyak hal yang terlewat dari pandanganku, memang orangnya kurang perhatian saja. Awalnya ku anggap kesemutan dan bercak-bercak panu ini gejala biasa. Tapi setelah lama tidak sembuh-sembuh juga, aku mulai takut kalau ini tidak akan berakhir baik. Aku banyak dengar beberapa cerita orang disini. Pak Joko timur jembatan sekarang tidak bisa ngarit untuk pakan kambing karena kaki dan tangannya cacat, si kambing akhirnya dijual untuk menutup hutang. 

Bu Intan penjual sayur di belakang kantor desa sekarang sudah tidak berjualan lagi sejak tangannya mengerut dan orang-orang tidak mau membeli dagangannya. Penyakit ini seperti kadang timbul disini kadang timbul disana. Orang bilang penyakit ini menyebar lewat air dan ada pula yang bilang lewat udara. Celaka betul, pikirku kalau penyakit ini bisa terbang. Tapi mau menular lewat manapun, toh tidak akan merubah fakta kalau sekarang aku salah satu dari tujuh belas ribu korbannya di Indonesia.

Hampir semua pemuda di kampungku itu sama. Berbekal ijazah SMA, lambat laun satu-satu pergi dari kampung, bekerja di pabrik untuk upah harian yang hanya cukup untuk makan dan rokok surya sebatang, Meski tidak lebih enak daripada disini, yang penting merasakan hidup di kota. Mau itu pabrik garmen, pabrik kabel, pabrik kayu, sudah coba ku daftar semuanya. 

Aku sudah coba mengakali bekas-bekas penyakit ini pakai baju lengan panjang. Tapi mandor-mandor pabrik itu sudah paham betul. Begitu mereka tahu asal desaku dan lihat tampangku lebih hitam daripada foto KTP, aku tidak pernah dipanggil kembali. Obat gratis dari Puskesmas yang ku minum setahun penuh itu memang membikin kulit lebih hitam. Iya, itulah alasan ku bilang hampir semua. Selain Aryo tetangga sebelah yang harus merawat orang tuanya, aku juga berbeda. Karena meskipun ingin, aku tidak bisa.

Musim yang paling tidak enak adalah musim pernikahan. Undangan-undangan temanku datang jadi penanda kalau umur segini sudah waktunya orang untuk menikah. Berita baiknya, tidak ada orang-orang yang bertanya "kapan nikah?" ke aku karena berita buruknya, orang-orang seperti sudah tahu kalau tidak ada perempuan yang mau. 

Kata emakku sih wajahku sih tidak jelek-jelek amat, tapi siapa orang tua yang mau anaknya menikah dengan orang yang bakal hidup susah? Banyak pengidap kusta yang tidak bisa memperoleh pekerjaan tetap, apalagi pendapatan yang cukup untuk membina keluarga. Pengidap kusta sepertiku susah untuk bergabung kembali ke masyarakat karena pandangan buruk kepadaku ataupun kecacatan yang ku punya.

Bukan berarti hidupku bernasib buruk sama sekali, ada beberapa hal yang membuatku lebih tenang juga. Aku pernah mendengar pemerintah mewajibkan setidaknya 1% pegawai instansi swasta  dan 2% pegawai instansi pemerintahan serta BUMN untuk diberikan ke penyandang disabilitas, termasuk didalamya penyandang disabilitas akibat penyakit kusta ini. Terkait pandangan buruk masyarakat, banyak juga organisasi-organisasi masyarakat yang membantu kami, orang yang pernah mengalami kusta, untuk diterima kembali di masyarakat. Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri. Maklum, mungkin karena juga biasa dilupakan. Perkenalkan semuanya, namaku Hansen.

Artikel ini merupakan cerita fiksi dengan basis data ilmiah

  1. 17 ribu penderita kusta di Indonesia -> Sumber : WHO. 2013. Seventh Expert Committee Leprosy Elimination. Diakses 4 Mei 2013 di Efek samping MDT pengobatan kusta -> Sumber : White C. 2002. Sociocultural considerations in the treatment of leprosy in Rio de Janeiro, Brazil 2002. Lepr Rev 73:356--365
  2. Dampak ekonomi akibat kusta terhadap pengidap kusta -> Sumber : Sekarningrum, B., Muljadji, Y., dan Yunita, D. 2017. Social Exclusion and Impoverishment of Lepers. Review of Integrative Business and Economics Research, 6(1): 387-394
  3. Peraturan pemerintah yang mendukung penyandang disabilitas -> UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Foto oleh Rafael Barros dari Pexels

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun