Mohon tunggu...
Opinari Chloe
Opinari Chloe Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kebebasan Pers dengan Sistem Pancasila

17 Februari 2016   19:10 Diperbarui: 17 Februari 2016   19:44 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pers di Indonesia dimulai dengan dibentuknya kantor berita ANTARA yang didirikan pada tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.Reformasi yang lahir dari tuntuntan rakyat yang telah bosan ditekan dan dikekang oleh rezim orde baru. Reformasi membawa angin segar perubahan di segala lini kehidupan masyarakat dan Negara termasuk juga pers. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers.Kebebasan pers adalah hak yang diberikan secara konstitusional untuk dapat menyebarluaskan maupun melakukan penerbitan surat kabar atau majalah tanpa adanya campur tangan ataupun penyensoran oleh pemerintah.

Pada awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, dan majalah.Di Era reformasi ,pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

   Setiap orang dibebaskan untuk dapat mencari informasi, berpendapat, atau mengkritik namun harus berdasarkan nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila. Dengan adanya kebebasan pers, komentar/kritikan dari masyarakat dapat disalurkan melalui pers yang selanjutnya dapat menjadi masukan bagi negara ini.Rakyat pun akan menjadi lebih open minded, cerdas, kritis, maupun terbuka terhadap masalah masalah yang sebenarnya terjadi dan pemerintahan pun menjadi lebih transparant. Sistem pers di Indonesia didasarkan pada ideologi bangsa indonesia sendiri yaitu pancasila. Penyebarluasan berita harus berdasarkan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila.

Meskipun pers memiliki kebebasan dalam mencari ataupun membuat berita, tetapi pers juga harus berhati hati dalam membuat sebuah berita.Berita yang disampaikan jangan sampai mengandung unsur SARA ,pencemaran nama baik seseorang, instansi atau kelompok tertentu dan akhirnya dapat merugikan pihak tertentu.

Dari beberapa tahun silam, banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Contoh konkritnya seperti berita bom di hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam berita ini, media melanggar kode etiknya dengan mengekspos foto-foto korban hasil ledakan bom tanpa sensor. Narasi reporter di lapangan juga terbawa emosi, sehingga mengatakan kalimat yang kurang etis. Media mungkin lupa bahwa tidak hanya remaja dan orang dewasa yang melihatnya, tetapi anak-anak di bawah umur juga.

Bukankah menimbulkan rasa ngeri dan trauma yang berkelanjutan? Apa yang dilakukan media disini, melanggar kode etik jurnalistik yang diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 pasal 4 ayat (2). Bunyi pasalnya adalah “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran”. Pasal ini benar adanya bagi hak pers, tetapi dilanjutkan dengan penjelasan “tidak berlaku bagi media cetak dan media elektronik”. Jadi, penyiaran dalam media cetak dan media elektronik tetap diharuskan adanya penyensoran karena akan disaksikan oleh massa.

Dalam kasus pemboman Sarinah kemarin, tidak ada kejadian terulang yang dilakukan oleh pihak pers. Tetapi malah publik di lokasi kejadian yang menyebarkan foto-foto kurang etis. Meski sempat kurang terkontrol, para kawan wartawan telah berusaha mengingatkan dan menginformasikan melalui media sosial, bahwa tindakan tersebut melanggar kode etik dan tidak etis untuk disaksikan oleh massa. Sehingga penyebaran foto-foto korban ledakan berkurang penyebarannya atau dihapus.

Dari contoh kasus pemboman JW Marriott dan Sarinah,dapat dilihat bahwa ada perkembangan postitif yang dialami oleh pers,yaitu pers tidak lagi melakukan pelanggaran yang sama dengan menyebarluaskan foto korban pengeboman tanpa sensor, bahkan pers menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan pelanggaran kode etik pers dengan tidak menyebarluaskan foto korban pengeboman yang tidak disensor.  Perkembangan positif seperti ini harus diteruskan bahkan ditingkatkan,agar pers di Indonesia dapat lebih baik lagi menjadi jendela informasi bagi masyarakat.Pers diharapkan ikut serta dalam membantu mencerdaskan bangsa dengan penyajian berita yang berkualitas.

Sumber :

http://www.dw.com/id/pers-di-era-inflasi-kebebasan/a-16565323

http://alnandayogarohmana.blogspot.co.id/2014/09/analisis-kasus-pelanggaran-pers-di.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun