[caption caption="Livi Zheng di Antara Kompasianer"][/caption]
Â
Awalnya, saya merasa excited untuk menonton film Brush with Danger dikarenakan mengandung unsur action, sebuah genre yang saya gandrungi. Terlebih, film ini dibuat oleh sutradara muda kelahiran Indonesia, Livi Zheng.
Jalan ceritanya cukup bagus dan menghibur. Tentang sinopsisnya saya rasa sudah diulas oleh kompasianer lainnya, sehingga saya fokus di catatan saya tentang film ini.
Qiang bersaudara adalah imigran gelap yang bertujuan mencari kehidupan yang lebih baik di Amerika Serikat. Biasanya imigran gelap identik dengan “symptom kurang terdidik, strata sosial yang kurang beruntung dan datang ke tanah impian dengan moda transportasi yang tidak umum. Namun, dalam film ini Qiang bersaudara datang merantau dari Tiongkok seperti melarikan diri karena kondisi politik yang penuh tekanan. Padahal kalau merujuk pada waktu sekarang, kondisi Tiongkok sangat kondusif. Represi politik terakhir hanya pada tragedi Tiananmen 26 tahun silam. Jadi latar belakang waktu dan tempatnya agak membingungkan.
Pertemuannya dengan Justus Sullivan memang diakui cukup halus dan mengalir, namun Sullivan awalnya tertarik lebih kepada keahlian Zheng bersaudara dalam melakukan ahli bela diri. Ia baru melihat lukisan Alice ketika memberi sumbangan untuk atraksi kedua bersaudara tersebut. Dan baru melihat kepandaian Alice melukis tiruan ketika sudah diajak ke galerinya. Apakah Sullivan menyangka setiap mereka yang berwajah oriental dan bisa melukis juga memiliki kemampuan meniru lukisan ternama ya? Dua hal ini agak mengganjal di benak saya.
Yang menjadi poin plus dari film ini menurut saya adalah aksi laganya yang cukup menarik dan juga pesan yang bisa diambil bahwa sah-sah saja kita bermimpi meraih kehidupan yang lebih baik, meski kadang tidak selamanya harapan tersebut dapat dengan mudah terwujud.
Selain itu penekanan karakter yang jelas di antara Qiang bersaudara juga menjadi poin tersendiri, dimana Alice memegang teguh pesan ayahnya, memegang tradisi leluhur, dan waspada meski juga lugu. Sementara sang adik terkesan matre, bertindak tanpa pikir panjang, dan kekanak-kanakan.
Sisipan humornya pun cukup bagus sehingga film ini cukup menghibur dan bisa ditonton oleh remaja 13 tahun ke atas.
[caption caption="Livi Zheng dan Kompasianer"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H