Mohon tunggu...
Ophin Tanis
Ophin Tanis Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba melihat pada HORIZON terjauh.....!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miniatur Indonesia

7 Maret 2013   02:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:12 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu ketika, seorang Guru mengajak murid-muridnya pergi ke Taman Mini Indonesia Indah. Semua Murid setuju, apalagi banyak dari antara mereka yang sama sekali belum melihat TMII karena mahalnya biaya. Betapa bahagianya murid-murid melihat langsung keindahan Indonesia, walaupun hanya dalam bentuk mini. Banyak dari antara mereka yang terkagum-kagum akan keindahan alam dan budaya Indonesia.

Mending ngurus “mini” yang ini dech dari pada ngurus rok mini,” celetuk seorang murid. Mungkin ia terpana sekaligus prihatin melihat tidak terurusnya miniatur beberapa wilayah. “Kok, Kalimantanya masih hijau? Katanya moratorium hutan tahun lalu gagal, banyak hutan di Kalimantan yang masih ditebang. Miniaturnya gak di up-date nih!” seloroh yang lain. Sebagian murid tidak peduli dengan situasi miniatur di sana. Yang lainnya sibuk berfoto ria sambil bergaya cherybelle di depan beberapa situs budaya asli Indonesia. “Ah, yang penting mereka senang dan anggaran sekolah dimanfaatkan. Terserah mau komentar apa,” sang Guru membatin. Mudah-mudahan ada studi tour lagi ah, harapnya. Inilah miniatur budaya yang terurus.

Di waktu lain, murid-murid itu diajak naik Kereta Rel Listrik (KRL) ekonomi jurusan Kota-Bogor. Sebelum berangkat Pak Guru menjelaskan tujuan kegiatan tersebut. Demi mengajari para murid kepekaan dan mengalami bagaimana susahnya orang yang bekerja, ungkap Pak Guru. Para murid harus melihat sendiri bagaimana para pekerja yang pagi-pagi para pekerja harus bergelantungan di KRL agar honornya tidak dipotong karena telat; sore hari kembali berebutan naik dan bergelantungan di KRL bahkan sampai di atapnya, untuk kembali melihat senyum istri dan anak tercinta. Para murid begitu antusias ingin segera berangkat; walaupun beberapa di antaranya cemas karena takut kecopetan dan tidak biasa bergelantungan.

“Selamat datang di Taman Mini Manusia Indonesia (TMMI),” celetuk seorang pengemis di tangga stasiun melihat semangat para siswa ingin naik KRL. Beberapa siswa mulai cemas dan takut melihat para penumpang berebutan turun dan naik serta padatnya penumpang. Beberapa di antara mereka memilih balik ke sekolah, tidak sanggup melihat kenyataan tersebut. Sebagian lagi nekat dan segera naik ke KRL dan berdiri di tengah-tengah penumpang lainnya.

Tidak ada kesempatan bagi para murid untuk saling melempar komentar atas situasi itu. Suara mereka tertutup suara mesin kereta, para penjaja makanan, pengamen, dan pengemis. Tubuh ringkih mereka terdesak oleh gerobak dorong berisi jajanan. Belum lagi, sesekali celana mereka ditarik para pengemis yang ngesot di lantai kereta. Tidak ada satu pun penumpang yang menaruh iba pada situasi tersebut. Masing-masing orang berusaha agar tidak terdesak dan memeluk erat tas ataupun barang bawaan agar tidak kecopetan. Sungguh menyeramkan, membatin salah seorang murid. Tidak ada keindahan dalam TMMI. Tragis memang! Inilah miniatur kemiskinan dan terbengkelainya pelayanan publik.

Yah, itulah miniatur Indonesia. Tidak ada keindahan di sana. Tidak taman tidak pula manusianya, tak ada yang terurus. Entah siapa yang kan mengurus? Bisa dimengerti mengapa pimpinan dan staf PJKA begitu panik mendengar seorang Menteri mengadakan insepksi mendadak dan naik KRL ekonomi. Tentunya, mereka tak ingin kebobrokan pelayanan terbongkar.TMII yang dulunya begitu terkenal tidak lagi terurus hanya karena adalah produk orde baru. Aset-aset budaya yang diambil secara paksa dari masing-masing daerah tidak dipelihara dan dijaga. Mereka hanya tinggal menjadi pajangan bersama laba-laba yang bergelantungan.

Memanglah, situasi Indonesia begitu mudah dilacak dari miniatur-miniatur yang diciptakan sendiri. Tidak perlulah lembaga survey turun ke daerah kalau hanya sekadar mencari sampel seperti apa orang miskin di Indonesia. Cukuplah kalau berjalan sepanjang rel KRL Kota-Bekasi atau Kota-Bogor dengan sesekali naik kedalam KRL-nya antara pkl. 06.00-10.00 atau pkl. 15.00-20.00. Tidak perlu pula lembaga survey budaya pergi ke daerah untuk mengetahui bagaimana pengurusan atau pemeliharaan aset budaya daerah. Cukuplah kalau pergi ke TMII dan melihat bagaimana tidak terurusnya aset budaya yang hanya tinggal pajangan di museum TMII.

Sama halnya dengan soal moda transportasi dan pelayanan publik lainnya. Tinggallah di Jakarta dan sekitarnya, dan akan ditemukan birokrasi yang mahal dan berbelit-belit. Jika ingin mengetahui mentalitas korupsi bangsa Indonesia, pergilah ke kantor-kantor pemerintahan dan akan begitu banyak pungutan liar di sana. Akan ditemukan bahwa sebenarnya masih banyak yang lain, hanya mungkin mereka belum memiliki rekening gendut. Yang menjadi pertanyaan retoris, miniatur suatu bangsa saja susah diurus, bagaimana mengurus bangsanya yang besar. Atau, bukankah miniatur ini sudah mewakili situasi yang sebenarnya? Secara logika memang salah, tetapi sebagai domain sampel bisa diuji.

Begitu para Murid kembali ke sekolah, menjelang penerimaan hasil ujian ternyata ditemukan penyalahgunaan dana bantuan operasional sekolah, termasuk untuk studi tour yang telah mereka lakukan. Penerimaan hasil ujian pun agak tersendat karena diharuskan membayar biaya administrasi. Dan, masih banyak yang lain lagi. Ahaaiii.... dimana-mana ada miniatur Indonesia.**** (Ophin Tanis)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun