Mohon tunggu...
oktin catur palupi
oktin catur palupi Mohon Tunggu... -

bekerja untuk sosial, menyenangi buku dan sepeda, hobi jalan-jalan....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tiga Teroris Kecil

25 Desember 2011   05:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah satu setengah bulan ini saya menikmati kehidupan ‘rumah’ yang sesungguhnya, karena kontrak kerja yang sudah selesai dan sembari sibuk sana-sini mencari pekerjaan baru, saya putuskan untuk benar-benar ada di rumah. Ternyata setelah hampir sebelas tahun hidup berpindah-pindah alias nomaden mengikuti tugas kerja, berada di rumah cukup memberikan kejutan-kejutan baru buat saya.

Rumah ini adalah rumah tengah, rumah dimana Bapak dan Ibu saya tinggal bersama kakak perempuan saya dengan suami dan anaknya. Sebelah kiri rumah saya ada rumah ‘Bulik’ atau Tante yang tinggal bersama nenek saya satu-satunya dan sepupu saya bersama keluarganya. Sedangkan di samping kanan ada rumah kakak laki-laki saya yang pertama beserta keluarganya. Menjadi rumah tengah sudah pasti menjadi rumah induk ditambah rumah orangtua saya memang terbuka untuk siapapun. Keluarga, saudara, tetangga, bahkan pembantu kanan kiri terbiasa keluar masuk rumah dengan leluasa. Menjalani hari-hari dengan rutinitas pekerjaan rumah tangga ternyata cukup menyenangkan meski melelahkan juga, namun saya coba untuk menikmatinya karena niatnya adalah mengganti hutang saya ke Ibu selama ini karena saya tidak bisa setiap saat membantu dan menemani beliau mengurus segala kerepotan rumah ditambah kenakalan cucu-cucunya.

Setiap hari di rumah ini berkumpul lima orang keponakan saya dari rumah kanan dan kiri, yang kesemuanya laki-laki dan rata-rata masih kecil karena yang paling besar baru duduk di kelas 8 (SMP), kemudian SD kelas satu, TK, dan dua yang kecil masih satu tahun. Mereka memang kelihatan sangat betah jika berada di rumah tengah bersama kakek dan nenek mereka. Keributan di pagi hari dari mereka bangun, mandi, sarapan dan bersiap sekolah menjadi lagu pembuka hari. Selalu saja ada tawa, jeritan, teriakan, dan tangisan, dan keusilan mereka. Seperti pagi ini, karena mereka libur semester, tiga keponakan yang paling besar sudah sibuk berkumpul di teras rumah tengah sambil membersihkan sangkar-sangkar burung mereka, kebetulan mereka sedang senang memelihara burung. Sepupu saya yang melihat tingkah mereka seketika nyeletuk, “ tiga teroris kecil sedang berkumpul, pasti sebentar lagi ada keributan”.

Benar juga, tak lama kemudian mereka sudah tak terlihat lagi di depan rumah, tapi dari dapur belakang tempat saya masak terdengar celotehan mereka di seberang sungai kecil yang mengalir tepat di belakang rumah. Lima menit kemudian terdengar suara kaca pecah persis di atas saya dan Ibu berdiri di dapur diikuti pecahan kacanya yang jatuh ke bawah. Setengah berlari, saya dan ibu berlari ke luar dapur kebingungan dan ketakutan sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi.

Bapak yang berada di dapur kotor kemudian masuk dan melihat ke atas, dimana genteng kaca dapur terlihat pecah berantakan, kemudian Bapak melihat sekeliling termasuk ke belakang rumah dan seberang sungai. Tak lama beliau pergi dan kembali lagi dengan tangan kanan sudah menjewer telinga Bagas, keponakanku yang paling besar dan tangan kiri menggandeng Elang dan Farel, dua keponakanku lainnya yang terlihat ketakutan sambil meringis kesakitan.Usut punya usut ternyata genteng kaca itu pecah karena lemparan batu dari ponakan-ponakanku yang sedang mengejar sembari melempari burung-burung kecil untuk mereka tangkap. Jadilah mereka kena marah kakek dan orang tuanya masing-masing. Bapak marah karena perbuatan mereka cukup berbahaya, apalagi jika mengenai dan melukai orang atau kaca rumah tetangga, disamping itu urusannya bisa panjang. Aku dan Ibu hanya senyum-senyum saja melihat kejadian itu. Memang Ibu berusaha tidak ikut campur atau membela mereka, kata beliau biar sekali ini mereka diberi pelajaran oleh kakeknya,karena Ibu dan saya punya tugas lain yaitu membersihkan pecahan kaca termasuk memasak lagi nasi dan sayur yang terpaksa kami buang karena kemasukan pecahan kaca-kaca kecil yang bisa membahayakan kalau dimakan.

Jadilah sepanjang hari mereka bertiga mendapat hukuman dari kakeknya yaitu menjaga ayam dan bebek peliharaan Bapak, serta kelinci-kelinci mereka, dari mulai memberi makan, membersihkan, dan memasukkan ayam dan bebek itu ke kandangnya. Tapi dasar anak-anak, sambil bekerja, mereka tetep aja gembira, berceloteh dan sesekali ribut bertengkar sehingga sekali lagi Bapak yang mengawasi mereka harus turun tangan melerai. Lebih lucunya lagi, malam hari sebelum tidur, mereka mengeluh kecapekan, dan dengan rasa sayang Bapak memijiti mereka satu persatu sampai tertidur....mmm.......memang benar kata orang bahwa kasih sayang kakek dan nenek ke cucu itu melebihi rasa sayang mereka ke anak-anaknya meski seberapapun kenakalan mereka.

Ini hanya satu kejadian kecil di rumah, tapi membuat saya jadi berpikir bahwa selama ini saya sudah melewatkan banyak momen-momen penting dan indah lainnya yang terjadi di rumah, tapi semoga waktu yang ada ini bisa sedikit menebusnya........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun