Kasus Trafficking, termasuk di dalamnya TKI (laki-laki dan perempuan) ilegal dan calon TKI di bawah umur, telah menjadi “penyakit menular,” mewabah, dan nyaris merata di semua Kabupaten di Provinsi Nusa Tengara Timur. Sudah tak sedikit warga NTT, terutama dari pedesaan, menjadi korbang jaringan human trafficking di NTT; mereka, jaringan tersebut seakan belut lincah yang bergerak dengan merdeka, dan tak tersentuh aparat keamanan. Sudah sangat banyak korban, penderitaan, bahkan kematian akibat ulah human trafficking di NTT.
Semua proses tersebut, dari perekrutan, penampungan, pembuatan dokumen, hingga sampai ke perusahan pengirim TKI ke luar negeri (perusahan di Jakarta atau Surabaya), membutuhkan dana yang cukup besar; dan mereka lah yang akan “kembali modal,” melalui pengguna TKI di luar negeri.
Modus Operasi Para perekrut TKI, terutama ilegal, non ketrampilan, dan di bawah umur, perempuan, merambah dan merasuk hingga pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan, dan melakukan pendekatan dengan keluarga-keluarga pra-sejahterah atau yang miskin serta kurang pendidikan. Modusnya adalah, membujuk orang tua (jika ayah dan ibu tak berhasil dibujuk, maka mereka lakukan hal yang sama kepada paman atau anggota keluarga yang lainnya), dengan sejumlah uang dan janji-janji manis.
Karena latar belakang itulah, banyak keluarga di pedesaan NTT “merelakan anak-anaknya” di bawa oleh para perekrut TKI ke Kupang. Di sana, mereka diserahkan ke perusahan pengerahan tenaga kerja, dengan imbalan rata-rata Rp 5 juta/orang. Mereka ditampung (dan dikurung) dengan fasilitas minim. Kemudian mereka dibuatkan identitas baru, jika dibawah umur, maka akan merubah tahun kelahirannya, termasuk merubah data dan info kependudukan.
Selanjutnya berdasar identitas palsu itu, jika akan dikirm ke luar negeri, dilanjutkan dengan membuat paspor aspal [paspor asli dengan data palsu atau pun paspor palsu]. Sehingga, bisa dikatakan, jika perusahan pengerahan tersebut nakal, ilegal, tak berizin, maka semua dokomen yang dibuat tersebut adalah PALSU.
Setelah semua “kelengkapan” (dengan dokumen asli, asli tapi palsu, dan 100 % palsu) sebagai TKI/W tersebut lengkap, rombongan Calon TKI diterbangkan ke Surabaya, Jakarta, atau pun menuju perbatasan Indonesia-Malaysia di Kep Riau atau Kalimantan Utara. Melalui tempat-tempat itulah, para TKI Ilegal diselundupkan ke luar Indonesia; TKI legal dengan identitas aspal dikirim “secara resmi” ke konsumen di luar negeri.
Upaya pencegahan Kapolda NTT, Endang Sunjana, menetapkan Rudi Soik sebagai bagian dari Tim Pemberantasan Trafficking, salah satu anggota tim adalah Rudi Soik. Keberhasilan pertama dari tim tersebutm adalah Rudi Soik menahan salah satu tersangka yaitu Tedy Moa, yang diduga kuat merupakan Brigjen Alex Mandalika (Mabes Polri) dan Kombes Pol Sam Kawengian (Dirumum Polda NTT). Selanjutnya, Rudi Soik melaporkan temuannya ke Mabes Polri; beritanya sudah berkembang, dan diketahui publik.
![Bersama Gub NTT, Frans Lebu Raya |Dok Pribadi](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1416889901562188862.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Tanggapan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya
Kemarin malam, Senin 24 Nop 2014, setelah rapat dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, Gubernur NTT menyempatkan diri bertemu dengan warga NTT di Jakarta. Pada kesempatan tersebut, saya bertanya ke Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, “Apa tanggapan Gubernur NTT terhadap human trafficking di NTT dan kasus Rudi Soik; karena kasus tersebut sudah menjadi perhatian nasional dan internasional.” Gubernur NTT langsung menjawab pertanyaan tersebut secara terbuka. Berikut jawaban Gubernur NTT
Kasus Rudi Soik. Gubernur NTT tidak mau ikut campur urusan Polisi, dhi. Polda NTT; dalam arti, walau sebagai Kepala Daerah, dirinya menghargai dan tidak mau intervensi urusan Polri menyankut Rudi Soik. Dengan demikian, Kasus Rudi Soik biarlah berjalan sesuai dengan koridor hukum.
Kasus human trafficking di NTT. Gubernur NTT, menyampaikan pengalamannya “menangkap basah” sejumlah Calon TKW yang dikirim oleh Perusahan Tak Jelas, dari Kupang ke Jakarta.
Beberapa bulan lalu, Gubernur NTT melakukan perjalanan dinas ke Jakarta; sejak di Bnadara El Tari, Kupang, dari ruang VIP Bandar melihat sejumlah perempuan dengan tampilan lugu dan bersahaja; ia menaruh curiga terhadap mereka. Ketika di dalam pesawat, Gubernur tetap memperhatikan mereka.
Ketika transit di Juanda, Surabaya, Gubernur mengumpulkan mereka di ruang transit, dan melakukan dialog.
Gubernur (G): Kalian dari mana dan mau ke mana
Calon TKI (CT): Bapa, kami mau ke Jakarta, bekerja di sana
G: Apa nama perusahan pengiriman tenga kerja!?
CT: Tidak tahu bapa
G: Sudah tahu di mana atau tempat kalian akan bekerja
CT: Belum bapa, nanti sudah sampai di Jakarta, baru kami dikirim ke Malaysia
G: Mana paspor kalian; [koordinator rombongan CT menunjukan paspor mereka ke Gubernur; dan setelah diperiksa, ternyata data-data pada paspor-paspor tersebut berbeda dengan nama, tampat/tanggal lahir pemegangnya; dokumen lainnya, juga aspal]. Tak lama kemudian waktu transit selesai, dan Gubernur, dan rombongan yang sama, kembali ke pesawat menuju Jakarta.
Di Jakarta, Gubernur NTT menghubungi Polisi, dan rombongan Calon TKW tersebut, dilarang meninggalkan Bandar, kemudian langsung dikirim pulang ke Kupang.
Berdasar banyak info dan laporan masyarakat dan pengalaman yang dialami sendiri, kemudian Gubernur NTT membentuk Satuan Tugas Pemberantasan human trafficking di NTT, yang melibatkan banyak pihak di NTT.
Langkah awalnya memerintahkan agar menutup perusahan pengerahan tenaga kerja yang tak berizin, ilegal, dan nakal, dan terbuka untuk membawa mereka ke pengadilan. Pemda NTT, memang tak bisa membatasi orang atau rakyat untuk bepergian atau pun bekerja di tempat lain dalam rangka perbaikan taraf hidup dan kehidupan, namun harus sesuai dengan peraturan yang berlaku serat ada dalam koridor hukum. Jika di luar itu, maka perusahan, perekrut, dan para pelakunya atau jaringan human trafficking harus dihukum berat. Sebab, bagi aparat Pemda NTT dan Gubenru NTT, human trafficking, adalah kejahatan berat yang menyangkut harkat serta martabat manusia, dan merendahkan nila-nilai kemanusiaan.
Selanjutnya, melakukan pembenahan aparat desa dan melakukan blusukan hingga desa-desa terpencil, dalam rangka mendengar aspirasi rakyat. Pemda NTT, LSM, dan juga Polri, terus menerus melakukan upaya pencegahan human trafficking.
Upaya melalui Tekad Pembangunan di NTT
Seperti dipahami bersama, bahwa Gub Frans Lebu Raya, kini memimpin NTT pada periode II; Ia bersama Wagub, kembali dengan Tekad Pembangunnan NTT. Dengan demkian, jika proses pembangunan tersebut berhasil, maka paling tidak bisa meminimlisr atau bahkan mencegah human trafficking di NTT. Tekad pembangunan NTT tersebut antara lain,
Maksimalisasi program pembangunan Desa Mandiri dengan dana Rp 250 jt/desa (sudah berjalan sejak 7 tahun lalu) dari APBD NTT, dan nanti akan ditambah dengan Rp 1.5 M/desa dari APBN. Semuanya itu demi memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Dengan itu, akan menutup niat warga desa untuk bekerja di luar negeri atau meninggalkan tanah kelahirannya.
Selain itu, menurut Gubernur NTT, dalam rangka Program Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, maka di NTT akan dibangun beberapa Dam, Bendungan untuk kebutuhan air bersih dan pertanian. Sekaligus membuka lapangan kerja di/dan utuk masyarakat desa pada bidang pertanian dan perternakan.
Untuk yang ini, tanggal 20 Desember 2014, Presiden Joko Widodo akan datang ke NTT untuk meresmikan RS Siloam Kupang, peletakan batu pertam Bendungan di Kab Kupang, serta penyerahan sejumlah besar sapi untuk NTT dalam rangka kembalikan NTT sebagai sentra produk sapi dan ternak potong lainnya, misalnya babi dan kambing.
Gubernur DKI, Basuki Tj Purnama dan Gubernur Jateng, Gandjar Pranowo akan ikut bersama Presiden ke NTT. Sebab, DKI Jakarta akan berkerjasama dengan NTT pada bidang pendidikan dan pasokan sapi potong; DKI akan membangun dermaga khusus untuk kapal pengangkut Hewan dari NTT ke Jakarta. Sedangkan, Jateng akan berkerjasama dengan NTT pada bidang perikanan laut dan air tawar. Mengingat kebutuhan ikan yang besar di Jateng, maka diharapkan NTT bisa memasok kebutuhan tersebut.
Harapan
Human human trafficking di NTT, atau pun umumnya di Indonesia, merupakan paduan masalah yang ada sebelumnya. Di dalamnya ada kurang pendidikan, jumlah anggota keluarga yang besar (anak yang banyak), tingkat ekonomi keluarga yang rendah, serta masalah sosial dan budaya, dan hal-hal lain yang bertalian dengannya. Misalnya, data Maret 204, NTT dengan kepadatan penduduk 53. Juta jiwa, masih memiliki 19.82 % penduduk miskin, juga merupakan faktor pendorong banyaknya warga desa tergiur dengan bujukan uang dari para perekrut TKI, dan janji-janji manis mereka. Biasanya mereka, perekrut TKI, menyodorkan sejumlah uang, yang bagi warga desa cukup besar, agar merelakan anggota keluarganya ikut si perekrut TKI.
Oleh sebab itu, Pemberatasn Human human trafficking di NTT, dan juga pada tempat lain di Indonesia, bukan hanya melalui tindakan hukum, misalnya menangkap dan memenjarakan para pelakunya serta pembangunan infrasturktur, namun juga dengan berbagai pendekatan lainnya.
Pendekatan tersebut, utamanya adalah upaya membangun dan membuka wawasan masyarakat tentang untung-ruginya bekerja di luar negeri serta mekanismenya. Sehingga mereka bisa mempunyai pilihan dan kesiapan jika mau bekerja di luar negeri.
Pendekatan lainnya, adalah, dan ini sangat retorik, mengalihkan gerak ekonomi dari kota ke desa; suatu harapan masa depan, yang sejak era lalu dicanangkan, namun belum juga mencapai keberhasilan.
Selain hal-hal di atas, pada kerangka besarnya, Pemda NTT (kembali) mengembangkan pertanian dan perternakan, yang dikerjakan oleh rakyat. Semuanya itu merupakan bagian dari upaya menjadikan NTT sebagai “Propinsi Jagung” - “Propinsi Ternak” - “Propinsi Tujuan Parwisata” - “Propinsi Kepulauan.”
Semoga semua berhasil
Opa Jappy – Warga NTT di Jakarta