Desember 2015 yang lalu, ketika hujan di Jakarta belum seramai sekarantg, saya pernah menulis bahwa
"Penumpang CL, di musim hujan, mereka harus berbasah ria. Hal tersebut terjadi karena penataan keluar masuk Stasiun sama sekali tak mendukung kenyamanan pengguna CL. Mungkin 100 persen penumpang, terpaksa harus mandi hujan di/dekat Stasiun; mereka mandi karena KAI membuka peluang untuk itu. Hal tersebut terlihat di hampir semua Stasiun CL. Mulai dari Sawah Besar hingga Bogor, model penataan keluar masuk Stasiun nyaris sama. Di Stasiun Cikini, "lorong" keluar masuk sekitar 200 Meter; Condangdia, sekitar 150 Meter, Manggarai sekitar 200 meter. Stasiun Bogor, malah lebih rumit, memutar arah, melalui jembatan penyeberangan dan "lorong" cukup sempit dan penuh sesak, dan memacetkan.
Calon penumpang, di musim hujan, menuju pintu masuk, harus melalui "lorong" dipinggir Stasiun rata-rata 100 - 200 meter; mereka memutar atau berjalan hampir sepanjang gedung Stasiun. Bayangkan, jika hujan deras atau lebat, apalagi tidak bawa payung, pengguna CL harus basah kuyup hingga pintu Stasiun. Sama halnya dengan pengguna CL yang disabilitas dan manula; mereka harus dengan susah payah berjalan di "lorong" panjang untuk mencapai pintu keluar Stasiun untuk berganti kendaraan. "
Agaknya, KAI, khususnya pengelola Cummuter Line Jabodetabek, memang tak peduli dengan kebutuhan penumpan dan calon penumpan; sehingga mereka tak memperbaiki fasilitas masuk keluar Stasiun. Penumpang, karena memang sudah memilih CL sebagai moda transportasi utama, juga tak ada pilihan lain, mereka, jika tak bawa payung, harus berbasah-basah atau sewa payung jika ingin masuk-keluar stasiun.
Mungkin saja, Pengelola CL akan berkata, "Sedia payung, sebelum hujan;" betul, namun bukan itu kata-kata cerdas serta bijak, bukankan tak semua orang keluar rumah pada saat cuaca hujan atau dengan tas besar berisi payung? Juga, tak semua orang terbiasa atau nyaman membawa payung pada saat bepergian.
Beberapa hari yang lalu, ketika saya bertanya kepada salah seorang petugas KAI di Stasiun Cikini, "Bapak lihat, orang-orang yang basah tersebut!? Mengapa tak membuka jalur jalan atau pagar agar penumpang bisa mudah dan tak basah?" Petugas tersebut, tak banyak menjawab, ia hanya katakan, "Kalau mau protes maka ke Direktur KAI?" Lho, kok jawabnya sisnis, saya cuma tahan hati. Selanjutnya, saya bertanya, no hp bos mu, maksudnya Kepala Stasiun atau apalah; si petugas, tak menjawab, dan acuh, serta menunjukkan wajah tak menyenangakan. Itulah KAI, Kereta Api Indonesia, mereka lebih menyukai nyaman dengan sikon sendiri, dan tak peduli.
Melihat model petugas KAI seperti itu, saya malah bertanyanya kepada beberapa penumpan. Misalnnya Amir, pendatang dari Jambi, menyatakan bahwa, "Perusahan sebesar KAI, perlu belajar bagaimana menghargai konsumen." Sama halnya, denung salah satu ibu guru, ia lupa bawa payung. dan akibatnya basah kuyup, ia berkata dengan nada tak menyenangkan, "Yang buat jalur orang masuk keluar Stasiun, mungkin orang bodoh dan tak tahu situasi."
Nah ....!
Sebetulnya, KAI, para pengelola Stasiun, bisa membuat area jalan manusia masuk-keluar stasian, dengan atap tahuan panas dan hujan, misalnya di dekat Stasiun Bogor. Dengan demikian, sepatutnya, dalam rangka kenyamanan penumpang, ada baiknya, pintu keluar masuk stasiun tidak melewati "lorong jalan" yang panjangnya rata-rata 200 meter.
KAI lah, yang perlu memperbaiki fasilitas, bukan masa bodo terhadap orang-orang menggunakan jasa CL. KAI tak perlu berkilah, bahwa mereka hanya "menjual jasa" transportasi, dan masalah "orang keluar masuk stasiun" bukan urusan mereka.