Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan;
janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya, danÂ
janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar,Â
tetapiÂ
engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran, [Imamat 19 ayat 15].
Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, danÂ
akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya, [Yesaya 32 ayat 17].
Kutipan di atas, dari Kitab Imamat dan Yesaya, merupakan  peraturan baku untuk para Hakim pada era Nabi Musa, sekitar 10 abad Sebelum Masehi dan abad ketujuh SM hingga masa kini.Â
Para Hakim yang mengadili rakyat harus tanpa pengaruh dan dipengaruhi siapa pun. Sehingga keputusan mereka memunculkan ketenangan dan ketemtraman.
Walau teks tersebut sudah kuno, dan mungkin saja telah dilupakan banyak orang, namun masih kena mengena dengan sikon kekinian di Indonesia. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang menjatuhkan pidana penjara 2 (dua) tahun terhadap Ir Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menuai beragam tanggapan.
Tanggapan tersebut muncul karena proses peradilan dan hasilnya, jauh dari dari asas kebenaran dan keadilan. Dengan latar itu, sangat relevan jika dipakai untuk menyikapi keputusan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara, 9 Mei 2017, terhadap Basuki Tj Purnama. Hal tersebut antara lain,