News pada majalah Tempo dan Tempo.co, kembali membuat berang MUI; liputan Tempo bahwa MUI diterangai memperdagangkan label halal; dan MUI lakukan hal tersebut hingga Australia dan Belgia.
Sebagai lembaga bentukan pemerintah dan penggunan APBN sebetulnya MUI menerima dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 3 miliar/tahun. Agaknya dana sebesara itu, tak mencukupi operasional MUI, sehingga dalam rangka sosialisasi dan mengeluarkan Fatwa Halal, MUI menerima dana dari berbagai pihak, antara Rp 20-30 juta. Semuanya itu demi memperlancar kerja dan operasional MUI, (bandingkan tempo.co/12 Maret 2013).
Bagaimana dengan pemberitaan Tempo, tentang upaya menghalalkan produk dari Belgia dan Autralia, agar bisa masuk ke Indonesia!? Mungkin saja bukan dagangkan sertfikat halal, melainkan semacam dana untuk tranport, hotel, dan uang saku!? Di samping itu, Tempo juga memberitakan bahwa MUI menerima hadiah atau gratifikasi senilai Rp850 miliar dari luar negeri.
Tentu saja pemberitaan seperti itu, plus dibungkus cover seperti di atas, semakin membuat marah dan tersinggung para petinggi MUI, mereka merasa dilecehkan.
Dalam kemarahan, ketersingungan, terlecehkan itu, sayangnya reaksi MUI bukan pada materi atau isi pemberitaan, melainkan cover Majalah Tempo.
Menurut MUI, pemberitaan Tempo tidak berdasar, apalagi MUI menerima dana-dana yang tidak sesuai. Bahkan, menantang Majalah Tempo untuk membuktikan isi pemberitaaannya.
Belakangan, setiap bantahan dari MUI terhadap pemberitaah Tempo, selalu disambut oleh tempo.co (lihat komentar), dengan pemuatan data dan fakta, termasuk surat dari Mohammed El-Mouelhy, Presiden Halal Ceritification Authority Australia, menyanggah pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan Shaberah tentang biaya perjalanan ke Australia pada 2-8 April 2006.Â
Dengan cara mempermasalahkan Cover Majalah Tempo, dinilai melecehkan, sebab digambarkan sebuah produk dengan gambar babi dan ada sertifikat halal MUI; agaknya ketika MUI gunakan hak jawab dan menjawab atau klarifikasi, sekaligus membelokan persoalan. MUI menjadikan persoalan Cover Majalah sebagai bentuk pelecehan yang sangat menyakitkan. Misalnya, pada poin 8, klarifikasi (lihat komentar), disebutkan, "... Tempo telah menulis dengan narasi dan karikatur yang sangat menyakitkan hati ulama dan umat Islam sepertinya penuh kebencian terhadap MUI yang seperti itu hanya ditulis oleh orang anti Islam, ...;"  MUI menggunakan kata-kata Orang Anti Islam, dan ini sangat disayangkan, bahkan bersifat tudingan terhadap Tempo.
Mungkin saja, dengan cara mempermasalahkan cover tersebut, MUI ingin agar Tempo mendapat reaksi kebencian dan amarah dari umat Islam, kerena telah melecehkan Ulama!? Bisa saja dengan cara menggunakan jargon pelecehan terhadap Ulama dan Umat, maka MUI membuka peluang agar adanya pembalasan yang setimpal terhadap Tempo; dan sentimen sensitif seperti itu, sangat mudah tersulut. Itu sangat berbahaya.
Jika seperi itu, maka sangat disayangkan, bukannya duduk bersama untuk menjelaskan serta meredam persoalan, sambil temukan titik temu dengan damai, melainkan membangun masalah baru.
Semoga semuanya berjalan dengan damai.