Kehadiran Tuhan itu dapat dirasakan dan begitu dekat dengan kehidupan.
“Ada Satu yang melindungi kita. Ada Satu yang selalu dekat dengan kita, dan Yang Satu itu akan menjadi penjaga hati kita, tempat mencari perlindungan dalam ketentraman kehidupan kita." (21 Juli 1902 surat kepada Ny. van Kol). Ketika Ny. van Kol menggunakan ungkapan “Tuhan sebagai Bapa”, Kartini tiba-tiba terbuka dengan istilah ini dan tidak mempersoalkannya karena mengasosiakannya dengan ayah biologisnya. Dia mencintai dan menghormati ayahnya. Berdasarkan itu dia merasa bahwa ungkapan itu adalah ungkapan yang cocok bagi pengalaman batinnya sendiri, (4 Juli 1903 surat kepada Ny. van Kol).
Dari Ny. van Kol ini Kartini belajar untuk membaca Injil dan mencoba memahami beberapa ajaran tentang kekristenan. Ia mengadopsi beberapa istilah yang digunakan di Injil, seperti kisah Yesus di taman Getsemani). Tidak dalam pengertian dogmatis tetapi ungkapan relasional untuk menggambarkan hubungannya dengan Allah. Inilah yang membuat Kartini ungkapkan “Allah sebagai Bapa, penuh cinta dan belaskasihan.”
===
Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Kartini, banyak orang mengenal sosok dirinya melalui "warisan" narasi di ruang kelas sejak TK atau pun SD. Cerita manis tentang hidup dan kehidupan Kartini, yang tertanam dalam alam pikir banyak orang, terutama perempuan, Indonesia, hanya berkisar pada jerih dan juang untuk kesamaan hak perempuan pada masanya. Dan, durasi hidupnya yang tak lama sebagai isteri dan ibu.
Namun, di balik itu, sebetulnya Kartini juga merupakan pelopor "membangun kesamaan dan kesejajaran pemahaman iman antar umat beragama, khususnya Kristen dan Islam.
Persahabatan real dan korespondensi antara Kartini dengan sahabat-sahabatnta yang berbeda iman, terjadi secara sejajar, bermartabat, saling memahami, temukan kesamaan, namun tak saling memaksa atau meminta agar beralih iman. Sesuatu yang pada masa itu, merupakan suatu kelangkaan.
Pada sikon tersebut, dan bisa menjadi pelajaran di era kekinian, Kartini telah menanam serta menunjukkan bentuk saling menerima serta dialog antar iman, tanpa curiga serta saling menghargai satu sama lain. Teladan yang dibangun dan diperlihatkan Kartini tersebut, agaknya banyak orang melupakannya.
Kembali ke penyebutan Kartini bahwa “Allah sebagai Bapa, penuh cinta dan belaskasihan;" ada kedalaman makna. Kedalaman makna, yang mungkin saja cuma Kartini yang pahami dengan persis.
Namun, jika membaca bahasa percakapan Kromo Inggil, yang merupakan keharusan antara Kartini dan ayahnya, maka sebutana "Allah sebagai Romo" atau Ayah atau Bapa, bukan tanpa alasan.
Kedekatan Kartini dengan romonya, menjadikan ia berimaginasi tentang Allah. Baginya, Kartini, Allah yang tak terlihat itu, juga adalah Sosok yang sangat bermakna bagi anak-anaknya, penuh cinta dan kasih sayang. Allah seperti itulah yang dibutuhkan umat manusia, dan cerminan kecilnya ada pada Sang Romo atau Ayahnya.