Kondisi Politik Tanah air sepanjang pertengahan tahun 2016 sampai pada awal tahun 2017 menghadapi gejolak yang sangat luar biasa. Gejolak politik seperti ini semakin terasa tatkala Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta akan dilangsungkan.
 Salah satu pasangan calon melempar sentimen untuk menyerang lawan, begitu juga sebaliknya. Namun hal yang sangat disayangkan sekali, ketika sejumlah pihak yang ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan Pilakada, menggunakan issue sara sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan. Hal tersebut ini telah mencoreng Kebhinekaan Bangsa.
 Semuanya itu, sontak membuat masyarakat diseluruh Nusantara menjadi berang terhadap segelintir orang yang merusak Kebhinekaan karena ambisi akan kekuasaan
 Sampai pada hasil pemungutan suara pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta yang dilakukan pada tanggal 15 Februari 2017, bahwa perolehan suara dari ketiga pasangan calon,  belum ada yang mencapai pada angka yang telah ditetapkan Undang – Undang agar selanjutnya dapat ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta. Oleh sebab itu, Pilkada DKI Jakarta akhirnya harus dilanjutkan dengan putaran II, dengan dua pasangan calon yang yang akan bertarung memenangkan kontestasi Pilkada DKI Jakarta.
 Kondisi Politik Ibukota semakin panas. Issue sara semakin kuat digaungkan. Keadaan seperti ini sepertinya susah untuk dikendalikan.
 Pada banyak tempat di Jakarta, ditemukan bentuk dan upaya untuk memecah kesatuan masyarakat yang secara nyata dapat dilihat dari spanduk-spanduk yang dipasang, selebaran yang dibagi-bagi, poster dan beberapa sentimen sara serta adanya propaganda dalam berbagai bentuk.
 Semua itu adalah bentuk intoleransi yang berdampak pada kerusuhan, dilarang jualan, tak mau sholatkan jenazah dan lain sebagainya.
 Hal-hal tersebut, jika tidak diatasi dan dilarang maka dapat dipastikan Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, akan mengalami benturan dan gesekan yang bisa menjurus pada kerusuhan sosial; bukan hanya di Jakarta, daerah lain diseluruh Nusantara terkena akibatnya, persatuan dan kesatuan bangsa jadi rusak jika hal tersebut diatas tidak ditindak dan dihentikan.
 Selain persatuan dan kesatuan Bangsa menjadi rapu, tapi kehidupan ekonomi Bangsa Inodesia juga jadi rusak.
 Dan yang rugi adalah kita semua.
 Oleh karena itu, sebagai anak bangsa yang tak rela melihat dan menyaksikan Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan menjadi hancur, kesatuan masyarakat jadi rapuh dan renggang, hanya karena soal perbedaan pilihan dan pandangan politi, maka terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam menciptakan suasana politik yang damai, bermartabat, sesuai undang – undang dan terlebih lagi jauh dari sentiment sara.