Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Opa Jappy: Menurut Al-Ghazali ada Ironi Bulan Puasa

21 Juni 2015   19:56 Diperbarui: 3 Mei 2020   12:12 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Indonesia Hari Ini Dalam Kata-Kata. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. (1058  -  1111 M); menguasai ilmu-ilmu agama yang luar biasa, sehingga dengan kemampuannya itu, mampu menangkap pesan-pesan dasar agama, plus pengamatan yang cermat terhadap tradisi beragama.

Al-Ghazali, "Ada ironi bulan puasa, terutama dalam konsumsi makanan – minuman. Memakan apa yang tak dimakan di selain bulan Ramadan, mengonsumsi sesuatu lebih banyak dari hari-hari non-puasa, sungguh telah jauh melenceng dari ruh puasa."

Esensi puasa adalah upaya untuk melemahkan energi-energi syaithani yang ada pada diri manusia agar tidak terlalu berdaya untuk berbuat jahat. Pelemahan itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui pengurangan. “Wa lan yahtsul dzaalika illaa bi at-taqliil."

Ironi bulan puasa, pada era Al Ghazali, agaknya juga ada pada masa sekarang. 

Setiap Ramadan tiba, tingkat konsumsi di negara-negara muslim justru melonjak tajam. Logisnya, puasa akan menekan tingkat konsumsi masyarakat ke angka yang lebih rendah dari hari-hari biasa, (sesuai dengan makna puasa itu).

Namun yang terjadi justru paradoks ini: orang seperti menunda makan siang untuk disikat di kala malam.Puasa seperti menjamak ta’khir apa yang luput tadi siang, ditambah panganan-panganan penunjang.Padahal, inti dari ibadah puasa adalah pengurangan, bukan penundaan, apalagi pengelipatan.

Di samping itu, puasa adalah pengosongan diri, al-khawaa  dan penaklukan keinginan-keinginan diri, kasr al-hawaa, yang bersifat fisikal. Dengan cara itu, seseorang mampu beralih dari alam fisikal menuju alam spiritual. Dengan peralihan fokus dari alam fisikal ke alam spiritual, barulah jiwa seseorang diyakini mampu mencapai level takwa. Pengurangan intensi pada aspek-aspek yang fisikal diandaikan akan meninggikan sensitivitas terhadap alam spiritual.

Tersambungnya diri seseorang ke alam transendental, yang konon menyingkapkan diri pada momen lailatul qadar, hanya mungkin terjadi bila perut dalam keadaan kosong. Terisinya rongga-rongga di antara hati dan dada dengan limpahan pangan sudah cukup membuat orang terhalang untuk menyingkap alam transendental yang menampilkan diri sekali setahun itu.

Intinya, melalui puasa seseorang (kita) merasakan pengalaman spiritual. Dimulai dari pengurangan terhadap konsumsi yang fisikal, dilanjutkan dengan pengosongan diri dari selain Yang Transendental.

Jadi, terpulang kepada anda, tentang sampai jauh mana puasa dan cara berpuasa kita. Bisa saja, jika belanja dapur di bulan puasa lebih besar dari di bulan lainnya, berarti ada yang sia-sia dari puasa kita. Juga, bisa saja jika badan tidak menyusut, bahkan stabil atau malah bertambah, berarti proyek taqliil sudah gagal bekerja.

 

Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun