Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Tadi Pagi, 09.00-10.00 WIB, Saya (Opa Jappy bersama Said Damanik, SH, MH dari Peradi) diminta untuk jadi Narsum pada salah satu Radio Swasta, di Jakarta Timur. Temanya, adalah Transparansi dan Jujur Dalam Mengungkapkan Kasus Penegak Hukum.
Tapi, tema tersebut, saya kembangkan menjadi, "Transparansi dan Jujur Dalam Mengungkapkan Kasus Pelanggaran Hukum atau Tindak Kriminal yang Dilakukan oleh Penegak Hukum;" dengan asumsi bahwa pasti merambah ke kasus hangat yang sementara terjadi.
Dugaan saya benar! Pendengar dan penonton live YouTube, bertanya seputar kasus tembak-menembak pada Awal Juli lalu, dan hingga sekarang "belum terang benderang." Juga, ada banyak opini terhadap kinerja Polisi pada kasus tersebut. Bahkan, mereka menuntut adanya transparansi dari pihak Kepolisian RI.
Hal tersebut terjadi akibat, publik melihat fakta, kasus sudah mencapai 4 Minggu, tapi  belum ada 'titik terang;' walau sudah ada anggota Polri yang dicopot dari jabatannya.
Berdasarkan hal tersebut, saya sampaikan bahwa "Transparansi, bukan Etalase atau pun Aquarium."
Sebab, transparansi merupakan (kegiatan dan) proses yang sesuai prosedur, ada urutan peristiwa, terukur, dan mengumpulkan bukti serta fakta. Dan, jika disampaikan atau publikasi maka hanya bagian-bagian 'kulit.' Intinya, yang krusial, tidak mungkin dipublikasi, tapi akan terlihat di Ruang Pengadilan.
Jadi, walaupun disebut transparan, namun semuanya tidak seutuhnya; walau proses 'memecahkan' teka-teki secara menyeluruh atau holistik, dan menyangkut berbagai kemungkinan dan skenario demi mendapat bukti keterlibatan orang atau pelaku.
Sayangnya, publik tak menilai transparansi seperti itu. Teriakan Publik justru Aquarium dan Etalase; mereka inginkan semuanya terlihat dan terpublikasi, bahkan sedetail mungkin.
Jadinya, Polri sudah berusaha se-transparan mungkin, tapi publik tetap pada orasi serta narasi agar 'Polri seperti Aquarium dan Etalase.' Menurut saya, itu tak mungkin. Karena ada hal-hal yang bersifat menghormati martabat serta kemanusiaan dan privasi seseorang (walau ia bersalah) yang dijunjung Polri. Itu juga yang harus dipahami oleh publik.
Sebab, "Jika, kita tidak percaya proses yang dilakukan Polri; lalu, apa yang kita mau percayai?" Dengan tegas, saya sampaikan melalui ruang siaran.