Kekuasaan (seorang) Sultan seperti itu, tadinya 'one man power and one man show,' berubah ketika ia meninggal dan meninggalkan sejumlah anggota keluarga atau turunan (dari Ratu maupun para Selir). Dari semua turunan tersebut, hanya satu yang menjadi Sultan; sisanya adalah para pangeran atau bangsawan.
Pada perkembangan kemudian, dalam rangka memperkuat pengaruh dan kekuasaan, Sultan mengangkat sejumlah pangeran atau pun bangsawan sebagai Adipati, Panglima, dan Bupati di Kadipaten. Dengan itu, kekuasaan Negara (dhi. Kerajaan) hanya berputar-putar dan berada atau terbatas pada sekelompok orang; inilah akar oligarki di Nusantara.
###
Oligarki seperti itulah yang mengalir terus di Nusantara hingga Indonesia merdeka. Tapi, harus diingat bahwa pada Era 1945 hingga 1967/68, bahkan 1971 (Pemilu I masa Orba), 'oligarki kekerajaan' mati suri dan hanya nampak feodalise kebangsawaan; serta jauh dari kepemimpinan NKRI.
Namun, paca 1971, ketika Soeharto menjadi semakin kuat, maka ia pun memperkuat dukungan pada dirinnya. Sehingga, pada waktu itu, Sekber Golkar (juga pemenang Pemilu 1971), dicipta menjadi organ pendukung pemerintah yang sangat kuat dan berkuasa.
Dari situlah, oligarki di Indonesia besar dan membesar nyaris tanpa batas. Sehingga, siapa pun mau nyaman serta aman gerak (pada bidang politik, ekonomi, sosial, termasuk jadi Menteri, Gubernur, Bupatu, Walikota), maka masuk ke Sekber Golkar. Soeharto pun gunakan Golkar sebagai kendaraan politik untuk terus menerus berkuasa.
Melompat pada era kekinian, Pasca Orba, walaupun banyak orang menyebut bahwa 'demokrasi rakyat dan kerakyatan' sudah semakin baik dan membaik; namun sebetulnya hanya semu.
Adanya 'sedikit parpol' yang berkoalisi dan membentuk 'Koalisi Pemerintah' semakin menumbuh-suburkan Oligarki Parpol terhadap pemerintah. Oligarki Parpol pun merambah masuk hingga ke kekusaan Pemerintah, termasuk Presiden, seta keputusan Parlemen dan Kejaksaan. Ironis.
Oligarki Parpol pun semakin kuat dan menggurita seperti Holding atau Perseroan Terbatas. Dan, berkuasa tanpa batas serta menentukan semuanya. Parpol pun 11 12 dengan Perseroan Terbatas.
Pada konteks tersebut, Ketum, Putera/i, Kakak/Adik, Ipar, Menantu, Ponakan, dan seterusnya menjadi 'kelompok elite Parpol;' merekalah yang berpeluang besar jadi Pimpinan Parpol, Anggota Parlemen, dan lainnya walau tanpa ketrampilan politik.
Sehingga apa yang disebut 'Kader Parpol,' apalagi 'Non Beruang,' tetap jadi sekedar 'followers.' Tak ada peluang untuk mereka mencapai kedudukan politik/politis yang memadai.