Pejaten, Jakarta Selatan | Kejutan bahagia datang dari Provinsi Terutara Negeri ini, PTUN membatalkan (Rencana) Penambangan Emas di Kep Sangihe, Sulut. Sesuatu yang mustahil di Negeri Tercinta, manakala Rakyat melawan 'kolaborasi penguasa dan pengusaha.'
Rakyat selalu kalah, tapi kali ini tidak; rakyat lah menang, walau sudah ada mata bor raksasa yang diselundupkan dari luar di lokasi penambangan. Informasi dari Laksamana Purn Pontoh, Bor tersebut diselundupkan dari Kutai Kartanegara, Kalimantan.Â
Kemarin, 2 Juni 2022, Majelis hakim PTUN Manado memerintahkan Pemerintah Provinsi Sulut untuk mencabut surat keputusan terkait izin lingkungan penambangan emas di Pulau Sangihe; dan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Pemprov Sulut batal.
Keputusan tersebut membatalkan Pemberian Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Emas PT Tambang Mas Sangihe di Kabupaten Kepulauan Sangihe bernomor Nomor: 503/DPMPTSPD/IL/182/IX/2020 tanggal 25 September 2020.
PTUN Manado juga memerintahkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Pemprov Sulut mencabut keputusan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Pemprov Sulut Nomor 503/DPMPTSPD/IL/182/IX/2020 tanggal 25 September 2020.
Sayangnya, keputusan PTUN tersebut tidak tersebar luas! Mungkin kurang menarik para redaktur Media Nasional. Sementara itu, Pemda Sulut masih melakukan upaya banding.
Ya gitu deh. Urusan Tambang dan Bisnis Emas memang berkilau dan memikat siapa pun; termasuk di Sangihe. Ada banyak kepentingan di sana, sehingga mereka yang terhisab di dalamnya bersikeras melanjutkan tanpa peduli terhadap suara serta aspirasi rakyat.
Lepas dari semuanya itu, kemenangan rakyat Sangihe ketika menolak tambang, bisa menjadi pelajaran berharga untuk daerah lainnya, misalnya di Timor NTT.
Dalam frame itu pula, ada semacam contoh bahwa ketika Pemodal dan Pemda berkolaborasi untuk mendayagunakan sumber daya mineral di bawah tanah, maka pertimbangan utamanya adalah hidup dan kehidupan masyarakat (dan lingkungan) di atasnya. Dalam artian, tidak melulu pada keuntungan yang didapat, sementara rakyat tak mendapatkan apa-apa.
Seperti kasus di Sangihe misalnya. Tanah rakyat kaya tambang dan subur, hanya dihargai Rp 5000.- per meter. Nantinya, jika mereka jual maka akan tercabut dari tanah kelahirannya sendiri. Dan, ketika uang penjualan yang didapat, habis, maka mereka pun menjadi kaum proletar yang tak punya apa-apa. Kaum proletar seperti itulah yang disebut 'Marhaen' oleh Bung Karno.