Syafii Maarif lahir di Nagari Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 (Wafat 27 Mei 2022). Memulai pendidikan dasar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat.
Setelah selesai pendikan dasar dan menengah Syafii Maarif melanjutkan studi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, Sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta, tamat pada tahun 1968, S2 di Ohio State University, dan S3 dari University of Chicago, Amerika Serikat.
Syafii Maarif, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, 1998-2005; Presiden World Conference on Religion for Peace atau WCRP, dan pendiri Maarif Institute.
Kontak pertama saya dengan Sang Buya, sekitar tahun 1982/3, ketika saya masih kuliah di Semarang. Setelah itu, beberapa kali bertemu. Bertemu sebagai teolog muda dalam frame Dialog Antariman dengan Tokoh Muhamadyah; dan kemudian hanya mengikuti jejak Buya di Media.
Tahun 2015, ketika itu, sejumlah Aktifis Gerakan Anti Korupsi Alumni Lintas Perguruan Tinggi mengadakan acara di Jakarta, Buya sebagai salah satu Narsum.
Kebetulan, saya dan Rudy Johannes (Alm) menyambut kedatangannya di depan tempat acara; hebat dan luar biasa. Ketika turun dari mobil, Buya dengan senyum berkata, "Apa khabar, lama tidak bertemu," (Lagi nyari foto bareng Buya).
Ya. Buya Syafii, banyak orang mengenalnya sebagai Sosok Pluralis dan Dialog Antar Iman; tapi sebetulnya, ia juga Tokoh dan Pegiat Anti Korupsi. Ia menyebut, "Korupsi sebagai kejahatan luar biasa; koruptor merampok kemanusiaan."
Ya. Tidak berlebihan, jika banyak orang menyebutnya sebagai "Bapak Bangsa." Karena memang hari-harinya diisi untuk kepentingan umat dan bangsa.
Ia adalah sosok yang orasi dan narasi edukasinya "melewati" batas-batas etnisitas, agama, dan golongan; tertuju untuk semua dalam frame Bangsa, Rakyat, Negara Indonesia.
Selamat Jalan Buya
Semoga Tenang dalam Ketengan Abadi
Agama dan Ketulusan (LIHAT KOLOM KOMENTAR)
Persahabatan sejati hanyalah mungkin dibangun di atas fondasi iman yang kokoh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitannya dengan masalah hubungan antarpemeluk agama, mungkin formula berikut dapat disepakati: “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.” Di luar jalur formula ini, saya khawatir bahwa agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keamanan, tetapi malah menjadi sumber sengketa dan kekacauan, dan bahkan sumber peperangan. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memperingatkan: “Maka ambillah sinyal moral [dari pengalaman masa lampau], wahai orang yang punya penglihatan tajam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H