Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Sudah menjelang satu bulan, lagu wajib ibu-ibu, pemilik Warteg, dan Tukang Gorengan, "Minyak Goreng Langka, Hilang, Mahal, Lenyap, dan seterusnya."
Kok bisa terjadi di Negeri penghasil Minyak Kelapa Sawit (bahan baku utama minyak goreng) terbesar di Dunia? Hampir semua orang bertanya seperti itu. Jawaban pun beragam, termasuk yang jawab nyinyir, "Pemerintah Salah Urus." Itulah Indonesia; segala sesuatu terjadi karena salah Pemerintah. Gampang, aman, dan tak ada yang bantah.
Aneh jika minyak goreng langka. Sebab, Domestic Market Obligation atau DMO Minyak Goreng di Indonesia ada pada beberapa konglomerasi yaitu (i) Wilmar, 99,26 juta liter, (ii) Musim Mas, 65,32 juta liter, (iii) Smart, 55,26 juta liter, (iv) Asian Agri 48,59 juta liter, (v) Permata Hijau, 21,19 juta liter.
Jelas, ada sekitar 300 juta liter minyak goreng di pasar Indonesia, tapi Si Minyak bisa lenyap. Bersamaan dengan itu, Aparat menemukan timbunan jutaan minyak goreng kemasan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dan, tak ada yang mengakui "Minyak Goreng Tak Bertuan" tersebut milik mereka.
Sementara itu, dalam kelangkaan minyak goreng, justru sejumlah Parpol bisa memiliki dan menjual minyak goreng murah. Kok Bisa? Bisa lah, namanya juga di Indonesia. Dari jejak digital, ternyata
- DPD PSI Kabupaten Bekasi menggelar pasar murah minyak goreng  Rp 10 ribu per liter.
- Petinggi Demorat, Ibas melakukan jual 16 ribu liter minyak goreng Rp 11.500 per liter
- DPD Partai Golkar Jatim membagikan 100 paket atau 5.000 liter minyak goreng  kepada pedagang gorengan di Surabaya,
Jatim. - PKS Â menjual minyak goreng Rp 14.000 per liter di Bogor.
- PDIP melalui Wali Kota Bandar Lampung menjual minyak goreng sesuai Rp 14 000 per liter di 126 kelurahan; masing-masing keluarga mendapat jatah membeli 2 liter
Minyak Goreng hilang, tapi Parpol punya persedian cukup banyak sehingga bisa  jual murah. Agaknya, Parpol-parpol di atas, mempunyai jalur khusu sehingga menemukan minyak goreng yang hilang.
Tapi, lucu juga sich, Parpol main minyak goreng, kata teman saya. Kujawab dengan santai, "Namanya juga Parpol, bisa main apa saja."
Atau, mungkin saja, di Indonesia, Parpol membutuhkan ratusan ribu atau jutaan liter minyak goreng untuk "gorengan politik." Faktanya, di Negeri Tercinta ini, gorengan politik sudah merupakan menu tetap saat sarapan, makan siang, dan santap malam.
Menu gorengan yang kadang hambar, pedas, atau pun nikmat; dinikmati semua orang. Walau seringkali terjadi gorengan politik tersebut kurang atau tak ada "bumbu fakta dan data;" bahkan, ada juga gorengan politik dengan racun hoaks serta ujar kebencian.
Cukuplah