Kedua, orang cerdas untuk diri sendiri. Orang-orang seperti ini biasa pintar, lulusan terbaik, bergelar (banyak) tapi tak mampu sampaikan apa-apa yang ia punyai tersebut ke/pada orang lain. Jika ia/mereka 'dipaksa' untuk menyampaikan, maka audiens tak pahami, bahkan bingung dengan ucapan ataupun istilah-istilah yang diucapkan. Mereka jangan jadi guru atau dosen dengan murid lebih dari satu orang, karena pasti gagal mentransfer ilmu.
Ketiga, orang cerdas untuk kelompok minatnya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, hebat, Â pintar pada bidangnya. Mereka bisa mencapai Ph.D ataupun Guru Besar. Tapi, mereka tak mampu atau mudah berbicara atau komunikasi (ilmiah, sosial, dll) di area bukan kelompok minatnya. Jika terjadi, maka yang muncul adalah istilah atau frasa-frasa yang tak dimengerti publik.
Ketika masih ramai-ramai Covid-19, saya mengeluh pada mereka yang termasuk kelompok ini. Yaitu para dokter yang tampil di Media; mereka menyampaikan banyak hal sesuai bahasa kedokteran, dan rakyat pun bingung. Minimal, saya saya sampaikan ke dua Dirjen di Kementerian Kesehatan, agar robah cara penyampaian; belakangan mereka berubah.
Keempat, ini adalah level tertinggi metakognisi. Orang-orang seperti ini tahu persis kualitas dan kapasitas ilmu yang ia/mereka miliki, dan terus mengisi dengan hal-hal baru. Mereka mampu mengsistimatikan (secara abstrak) semua yang ada pada dirinya. Dan, tahu persis saat, waktu, tempat, dan sikon untuk menyampaikan kecerdasannya ke/pada orang lain atau pendengar di area terbuka maupun tertutup.
Mereka, sejatinya, adalah orang-orang cerdas yang sebenarnya. Sebab mampu mengelola kecerdasan, (Rhenald Kasali) dan  trampil menyampaikan kecerdasan ke/pada orang lain atau sesama, (Jappy M Pellokila).
Bagaimana dengan diri anda?
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H