Catatan Awal
Pertama: Penerima Vaksinasi. Adalah mereka, satu orang atau pun kelompok, yang menerima vaksin (dengan cara tetes atau pun suntik) sehingga ia (mereka) memperoleh kekebalan (imun tubuh) dari penyakit (atau penyakit-pernyakit tertentu). Vaksinasi (i) dilakukan (diterima) sebagai suatu keharusan (dan kewajiban) untuk mencapai imunitas komunitas dan masyarakat, (ii) secara gratis atau pun beli (berbayar/membayar).
Kedua: Mereka, orang-orang di Nusantara, yang (akan) menerima atau mendapat vaksin sudah terdata dari kelompok usia 18 tahun +1 hari hingga 60 tahun - 1 hari. Di luar kelompok usia tersebut, bukan prioritas.
Ketiga: Takut dan ketakutan. Takut atau rasa takut adalah 'suasana psikologis' yang terjadi pada/dalam diri seseorang; sikon tersebut ditampilkan atau terlihat sebagai tanda-tanda seperti raut (ekspresi) wajah, teriakan, jeritan, menangis, berlari, bersembunyi, atau bahkan tak bergerak dan membisu. Pada sejumlah kasus, takut yang terus menerus terhadap sesuatu (yang terlihat, tak terlihat, benda, situasi, kegiatan, makhluk hidup dan mati, tempat atau area, dan lain sebagainya) akan menjadi 'phobi/a. Sehinngga ketika ia/mereka ada atau dekat dengan hal-hal yang menjadi penyebab phobia itu, maka langsung terjadi penolakan. Dengan dengan demikian, takut dan ketakutan, berlanjut pada phobia, dan berujung penolakan.
Opa Jappy
Pesawahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan | Sudah menghitung hari, jam, menit, rakyat Indonesia, dengan kriteria tertentu, (akan) divaksinasi atau menerima vaksinasi. Prsiden RI, Jokowi, sudah memberi contoh, selanjtnya proses dan kegitan vakisinasi tersebut dilakukan secara bertahap hingga mencapai 'angka atau jumlah aman' dalam rangka kekebalan imunitas terhadap Covid-19.
Sayangnya, sekali lagi, sayangnya, kegiatan yang bermartabat dalam rangka mencapai kekebalan imunitas tersebut mendapat penolakan dari sejumlah pihak. (Dari Jejak Digital) Terungkap bahwa alasan-alasan penolakan tersebut, antara lain (i) meragukan efikasi atau tingkat kemujaraban vaksin yang (akan) digunakan, (ii) memiliki alternatif lain, (iii) takut terjadi efek samping yang fatal, (iv) alasan agama atau keagamaan, (v) terpengaruh opini penolakan vaksin dan vaksinasi di Media, (vi) phobia vaksin, vaksinasi, jarum suntik.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, jika ada atau terjadi atau adanya takut (diikuti dengan penolakan) vaksinasi anti Covid-19, maka tidak mudah untuk mencapai kekebalan imunitas di Negeri ini. Sebab, adanya orang-orang yang dengan sengaja menolak vaksin, dan jika mereka adalah bagian dari komunitas, maka tetap sebagai pembawa virus. Jika pemabwa virus tersebut bebas bergeraka kemana-mana, maka tetap saja ada sebaran Covid-19 serta menyerang siapa pun.
Perlu Edukasi Publik Pra-vaksinasi
Selanjutnya? Vaksinasi Nasional, harus terjadi; takut, ketakutan dan penolakan terhadap vaksinasi, tetap ada, bahkan ada trend menaik atau bertambah. Lalu, apa yang harus dilakukan? Menghentikan vaksinasi, tak mungkin; membiarkan orang-orang yang takut serta menolak vaksinasi, bukan hal yang harus dipilih atau terjadi.
Langkah tepat  atau pas yaitu sosialisasi (termasuk publikasi yang TSM) dan edukasi publik. Sosialisasi, publikasi, edukasi tersebut ada baiknya terjadi atau dilakukan pada waktu sebelum, sementara, dan terus menerus hingga pelaksanaan vaksinasi mencapai angka atau jumlah aman terjadi kekebalan imunitas. Bahkan, perlu 'mengobati' mereka yang phobia vaksin serta vaksinasi.
Tanpa itu, orang atau siapa pun bisa atau dapat 'menolak' vaksinasi; jika terjadi, maka kelelahan vaksinasi (akan) menjadi sia-sia. Selain itu, jika vaksinasi di Indonesia tidak mencapai angka atau jumlah aman kekebalan imunitas, maka, dipastikan, Negeri ini mendapat 'banned' pada pergaulan Internasional.