Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi Koruptor

7 Desember 2020   19:16 Diperbarui: 8 Desember 2020   06:37 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Tribunews

Suplemen

Parpol juga menyediakan barang (maaf, salah; karena tak ada istilah yang lain) yaitu manusia dan jasa. Parpol bagiakan Perseroan Terbatas yang bergerak dalam bidang out sourcing. Para direktur di Parpol (maksudnya sich, pengurus parpol), biasanya benegoisasi dengan kepala pemerintahan agar orang-orang parpol digunakan di/dalam pemerintah/an; parpol menyalurkan tenaga/sdm yang ada padanya; juga parpol (melalui akal-akalan pada waktu) pemilu/kada menyalurkan orang-orangnya di Parlemen atau pun sebagai kepala daerah.

Dan mereka yang dipakai, yang telah tersalur tersebut, mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu (salah satunya adalah), mengisi pundi-pundi atau rekening parpol dengan sejumlah rupiah, dollar, euro, yen, dan seterusnya. Dengan cara seperti itu, maka parpol pun akan bertambah kaya dan besar secara organisasi dan dana/uang.

Mengapa seperti itu!? Karena mereka adalah anggota (tepatnya karyawan) Perseroan Terbatas "Parpol."

(Lengkapnya, Klik)

Bogor, Jawa Barat | Anda, tentu saya juga, pernah menghitung-hitung, sejak adanya KPK, berapa banyak Politis (Menteri/Wamen, Gubernur/Wagub, Bupati/WakilBup, Walikota/Wakil Walkot, Anggota DPR, DPRD I dan II), yang ditangkap (dan dipenjarakan) KPK? Ternyata sudah ratusan, atau bahkan lebih dari 1000 orang, dari seluruh Indonesia.

Mengapa seperti itu? Apakah mereka kekurangan uang sehingga korupsi? Bukankah untuk menjadi elite politik atau pun kepala daerah dan sebagai anggota parlemen maka harus memiliki dana yang besar? Itu juga bermakna, karena mereka punya uang (dan bukan orang-orang yang kekurangan) maka bisa mencapai kedudukan dan jabatan tersebut.

Dan, setelah mencapai kedudukan serta jabatan tersebut, mereka mendapat gaji dan fasilitas untuk menunjang kegiatan. Lalu, mengapa harus gunakan 'jurus korupsi' untuk menambah pundi-pundi atau rekening bank? Untuk jawab 'mengapanya,' maka hanya mereka yang tahu.

Namun, jika mengikuti 'dugaan saya di atas' (klik dan baca lengkap kutipan), paling tidak, menemukan berbagai alasan umum yang menjadikan seorang politisi (walau sudah mencapai kedudukan dan jabatan yang harus memberi contoh tidak korupsi) melakukan tindak korupsi; dan ia atau mereka lakukan itu dengan berbagai cara serta TSM.

Mungkin saja ada penyebab lain sehingga Politisi menjadi koruptor setelah mereka menjabat pada jabatab tertentu? Pasti Ada. KPK pun pernah melaporkan bahwa, "Sebanyak 69 persen orang yang ditangkap atas kasus korupsi memiliki latar belakang partai politik. Dari mulai kepala daerah, anggota DPR, sampai menteri yang menjadi anggota partai tertentu. Terkait fakta tersebut, para politisi berdalih, salah satu penyebab maraknya korupsi oleh oknum partai adalah karena sistem yang tak sempurna, (lihat kolom komentar)."

Selain itu, para politisi yang korup (plus nepotisme serta kolusi) tersembut, agaknya belum mencapai kedewasaan politik yang menyadarkan serta menyadari bahwa dirinya dipilih (terpilih) oleh rakyat, untuk (i) melayani kepentingan publik, (ii) bukan agar menumpuk kekayaan, (iii) berpihak pada kesejateraan rakyat, (iv) bersama atau ada di antara rakyat, dan (v) secara bersama menata segala sesuatu sehingg mencapai tingkat kemakmura, keadilan, kesetaraan pada hidup serta kehidupan; dan banyak hal lain.

Dari fakta-fakta di atas, banyak orang, termasuk saya, tidak heran jika ada politisi yang tertangkap (dan dipenjarakan) KPK, karena mereka bukan korupssi (karena kebutuhan kecil-kecil yang remeh, seperti tidak kembalikan uang beli kopi, gula, nasi bungkus, sate, rokok, dan lain-lain), melainkan 'adanya needs;' pada diri mereka ada 'ingin dan keinginan;' ingin memperkaya diri sendir serta 'membalas budi' dengan bukan uang pribadi.

Keinginan yang menghancurkan itulah, menghancurukan diri sendiri, keluarga, dan nama baik; karier politiknya (akan) ikut tenggelam (jika malu); serta selanjutnya, akan dikenang bukan sebagai pahlawan, melainkan koruptor.

Cukuplah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun