Sekitaran Universitas Pancasila, Jakarta Selatan | Entah apa yang sebenarnya terjadi sehingga (i) Ledia Hanifa, PKS (ii) Netty Prasetiyani, PKS, (iii) Endang Maria Astuti, Golkar, (iv) Sodik Mujahid, Gerindra, (v) Ali Taher, PAN menyatu mejadi satu dan mengusulkan Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga. Hingga kini, mereka belum meberikan penjelasan yang detail kepada publik tentang latar belakang usulan tersebut.
Namun, sejumlah pasal dan ayat dari RUU KK tersebut sudah menyebar dan tersebar di area publik melalui Media Massa. Laman Kompas memuat sejumlah pasal dan ayat yang menjadi kontravesi; antara lain,
- Pasal 85, tentang homoseksualitas: Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
- Pasal 86-87, tentang pelaku penyimpangan seksual wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.
- Pasal 88-89 tentang lembaga rehabilitasi yang menangani krisis keluarga dan ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor
- Pelaku pelaku sadisme dan masokisme atau bondage and discipline, sadism and masochism atau BDSM.
- Tentang larangan mendonorkan sperma dan sel telur tertuang, Pasal 31 ayat 1, Setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan; ayat 2, Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan
Hal-hal di atas, sedikit dari sejumlah pasal dan ayat kontraversial. Termasuk di dalamnya tentang kewajiban suami dan istri pada pasal 25 dan ketentuan lainnya yang menyangkut urusan intern keluarga atau suami-isteri-anak. Lengkapnya Klik Kompas.com
====
Mempelajari sejumlah pasal-pasal kontraversial tersebut, mungkin menurut banyak orang merupakan suatu kebutuhan dan sesuai sikon kekinian di Negeri ini. Tapi, apakah memang seperti itu? Sulit untuk menemukan jawaban pasti. Tapi, jika mengikuti asas kebutuhan dan urgensinya, maka apakah memang seluruh rakyat Indonesia membutuhkan RUU KK, menurut saya sudah tidak perlu. Sebab, sejak sekian tahun lalu, sudah ada perangkat Undang-undang untuk mengatur atau pun melarang hal-hal yang diusulkan dalam RUU KK.
Lalu, apakah Ledia Hanifa, Netty Prasetiyani, Endang Maria Astuti, Sodik Mujahid, dan Ali Taher mengetahui hal tersebut? Sejak kapan mereka, para pengusul RUU KK tersebut, menjadi WNI atau pun Anggota DPR RI, sehingga tidak tahu bahwa ada sejumlah undang-undang di Negeri ini yang mengatur setiap keluarga orang Indonesia? Katakanlah Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawainan, Undang-undang No 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahatera, Undang-undang Anti Pornografi, Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan lain sebagainya.
Jika memang, para pengusul tersebut di DPR RI, dan tidak atau belum tahun Undang-undang sebelumnya, maka sebelum mereka mengusulkan sesuatu, dhi. RUU KK, perlu mempelajari Undang-undang lainnya, sehingga tidak timbul tumpang tindih. Atau, lebih baik mereka, para pengusul tersebut mengusulkan revisi terhadap sejumlah Undang-undang, dengan memasukan usulan mereka.
Faktanya, ketika mengikuti serpihan-serpihan dari berbagai Media, maka apa-apa yang diusulkan oleh/pada RUU KK justru yang terjadi adalah (i) melanggar HAM dan diskriminasi terhadap para penyandang LGBT, (ii) Negara mau mengatur urusan intern keluarga, (iii) melarang upaya-upaya mendapat keturunan melalui tindak medis, misalnya bayi tabung, (iv) menenpatkan perempuan sebagai 'wajib mengurus rumah serta anak,' dan terkurung di dalamnya, (v) menemptakan laki-laki 'berkuasa atas isteri dan anak,' (vi) menjauhkan atau menciptakan gap antara laki dan perempuan di Indonesia, bukan lagi dalam frame kesetaraan gender, melainkan perempuan lebih rendah dari lak-laki, dan masih banyak hal lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, untuk para pengusul RUU KK, ada lebih baik usulkan sesuatu yang bermanfaat untuk seluruh Rakyat, Bangsa, dan Negara, daripada hal-hal yang remeh serta sepele; yang sebetulnya sudah diatur dalam/pada Undang-undang sebelumnya.
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H